Gambar dari http://www.qorisme.com/2015/08/android-aplikasi-dan-game-untuk-melatih.html
Duel Otak adalah permainan mutakhir di gawai yang belakangan tengah digandrungi banyak orang. Teman-teman saya di media sosial banyak membagikan tangkapan layar skor atau hasil tanding mereka dengan lawan mainnya. Permainan ini ibarat lomba Cerdas Cermat di jagad daring, dengan berbagai pertanyaan interdisipliner.
Namun sebenarnya sama persis dengan Eat Bulaga yang banyak jadi guyonan di jagad maya karena dianggap sebagai kuis kitsch berselera rendah, Duel Otak memiliki pola pertanyaan yang sama: pengetahuan yang dijadikan bahan pertanyaan di situ bukan a priori atau sesuatu yang taken for granted diketahui oleh semua manusia sejak lahir. Wawasan mengenai kuliner, musik dan hits, sejarah dunia, olahraga, layar kaca, bukan sesuatu yang ujug-ujug mak bedunduk kita ketahui begitu kita manusia mbrojol ke dunia. Semua pengetahuan itu muncul dari pengalaman, dari pembelajaran.
Ujung-ujungnya karena tidak mengetahui jawaban pasti dari pertanyaan yang muncul dan tak punya waktu untuk googling karena tenggat waktu Duel Otak, saya—dan barangkali banyak pemain lain—melakukan strategi banzai nekad: asal tebak. Berharap tebakan jawaban kita jitu dan menyumbang skor tinggi demi mengalahkan lawan main.
Bermain Duel Otak membuat saya memikirkan konsep tabula rasa. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih kosong tanpa pengetahuan, iman, tendensi, dan rasa apapun. Perjalanan hidup dan pengalaman mengisi manusia itu dengan berbagai rasa dan pengetahuan. Belajar adalah salah satu cara mengisi pengetahuan tersebut. Hasrat keingintahuan memicu manusia untuk mengumpulkan sebanyak mungkin ilmu pengetahuan tentang berbagai hal.
Pertanyaannya adalah: berapa kapasitas seorang manusia untuk dapat mencerap dan memahami semua ilmu pengetahuan itu? Berapa waktu tersisa yang dimiliki seorang manusia untuk belajar dan menguasai pengetahuan itu?
Strategi bermain asal tebak di Duel Otak adalah bukti bahwa masih begitu banyak pengetahuan yang belum kita ketahui. Tenggat waktu sekian detik di permainan itu adalah refleksi bahwa waktu hidup manusia teramat pendek untuk dapat memahami semua pengetahuan yang ada. Meminjam premis yang dipaparkan Wachowski bersaudara dalam film Jupiter Ascending: waktu adalah komoditas paling berharga bagi makhluk semesta.
Dalam penilaian pribadi saya menetap di Yogyakarta adalah sebuah anugerah sekaligus siksaan untuk mereka yang gemar mencari pengetahuan. Anugerah karena Jogja adalah kota dengan begitu banyak sumber pengetahuan yang bisa dipelajari. Ada yang berbayar, banyak juga yang seperti udara: gratis. Namun ini menjadi siksaan saat kita menyadari bahwa kita tidak memiliki keistimewaan hidup abadi dan tidak surplus komoditas bernama waktu. Keterbatasan kita sebagai manusia menghalangi keinginan kita untuk menikmati semua sumber pengetahuan itu.
Malam minggu saat saya bermain Duel Otak, sedang ada tiga—mungkin lebih—pertunjukan seni di tiga tempat berbeda, serta sebuah pemutaran film di tempat lainnya. Karena pusing dan bingung memutuskan mana yang harus saya tonton akhirnya saya memutuskan tidak hadir di semua pagelaran itu, nyaman dengan Duel Otak di gawai.
Ini adalah siksaan. Ada begitu banyak konser musik yang harus disaksikan. Begitu banyak pameran seni rupa sepanjang tahun menggoda kita memahami estetika visual yang dipajang. Jangan lupakan diskusi dan seminar di ruang-ruang berpendingin udara perguruan tinggi atau guyubnya gelaran tikar ruang alternatif. Deretan album musik menarik yang dirilis para musisi menanti untuk didengarkan dan diapresiasi. Oh, puluhan bahkan ratusan judul film rilisan lama atau baru juga disediakan gratis di bilik warnet Jogja. Siapkan 10 ribu rupiah untuk membayar tarif ngenet maka hard disk portable sudah penuh dengan stok mkv lengkap dengan subtitlenya. Duh, bertumpuk-tumpuk judul buku di berbagai toko buku, perpustakaan, atau koleksi pribadi teman juga memanggil. Meminta untuk dibaca dan dipahami isinya.
Saya tidak pernah menghitung secara pasti, namun rata-rata dalam sebulan saya bisa menyelesaikan membaca tiga, lima, atau sepuluh judul buku. Tergantung tingkat kerumitan isi buku, tingkat ketebalan halaman, dan apakah aktivitas saya di luar membaca buku itu sedang padat atau tidak. Semakin banyak buku yang saya baca, siksaan terasa semakin berat: ternyata masih banyak buku lain yang belum saya baca. Masih banyak film di hard disk yang harus saya tonton. Masih banyak diskusi dan seminar yang harus saya ikuti. Masih banyak hal di dunia ini yang tidak saya ketahui. Ini baru di Jogja. Masih banyak sisi lain bumi yang sebenarnya menawarkan pengetahuan namun belum mampu saya sambangi.
Siksaan ini adalah sebentuk pertanyaan: sampai batas mana kemampuan saya sebagai manusia bisa tahan dicekoki semua pengetahuan ini? Berapa banyak sisa waktu yang saya miliki untuk mempelajarinya?
Mungkin inilah sebab kenapa akhirnya banyak manusia kehilangan kewarasan, atau bahkan memutuskan mengakhiri hidup dengan tangannya sendiri. Karena mereka sadar bahwa semesta beserta isinya adalah sebuah kompleksitas yang terlalu rumit untuk dipahami manusia dengan keterbatasan fisik dan waktu. Mereka merasa tak ada lagi faedahnya hidup dan mengetahui bahwa ternyata mereka tidak tahu apa-apa tentang semesta raya.
Manusia yang memutuskan untuk tetap hidup di gempuran ilmu pengetahuan ini terbelah menjadi dua kubu: pertama, mereka yang memilih hidup nyaman dan abai dengan gempuran masif ilmu pengetahuan, pokoknya hidup saja. Cukup. Kedua, mereka yang memilih hidup dan mencerap gempuran ilmu pengetahuan ini semampunya, sembari mengamini gagasan Camusian untuk mengatakan ‘ya’ pada kompleksitas hidup. Menerima dengan nerima ing pangdum setiap absurditas semesta raya demi menjaga kewarasan dan motivasi kehidupan.
Barangkali demi menjaga kewarasan, saya dan manusia lain yang memutuskan untuk hidup bisa mawas diri menerima keterbatasan manusiawi yang fana ini. Justru inilah asyiknya menjadi manusia. Ibarat bermain Duel Otak tanpa bantuan jawaban dari google atau teman di sebelah, tantangan tersebar kita adalah melakukan yang terbaik di tengah keterbatasan waktu dan nyawa kita. Bayangkan jika kita bermain dengan bantuan curang, nyawa dan waktu kita jadi tak terbatas. Seru nggak sih bermain seperti itu? Ada tantangannya nggak sih?
Menjadi Yang Maha Fana adalah tantangan bagi manusia. Karena kefanaan adalah pengingat bahwa waktu yang sebentar ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya, pelajari pengetahuan apapun yang berguna, hasrat bermain ilmu pengetahuan di tengah kefanaan adalah tujuan utama kita. Persis eksperimen pikiran Scott Adams dalam The Religion Wars: pada akhirnya kita manusia akan menyadari bahwa kita tak akan mampu mempelajari semua ilmu pengetahuan di dunia, tapi ya pelajari saja semampu yang kita bisa. Jangan lupa untuk adil sejak dalam pikiran seperti kata Pram agar ilmu pengetahuan yang sudah kita pelajari dapat digunakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Karena menjadi Yang Maha Esa tentu adalah beban yang luar biasa. Seperti thought experiment yang dipaparkan Scott Adams dalam God’s Debris. Bayangkan rasanya menjadi Tuhan Yang Maha Esa dan memiliki segalanya, mampu menciptakan segalanya, memiliki komoditas waktu yang melimpah tak terhingga. Saat semua sudah dimiliki dan mampu diciptakan dalam sekejap, apalagi hasrat yang tersisa? Apalagi misi utama yang harus dituntaskan?
Demi menjaga kewarasan dan keinginan menjalani kehidupan, mari bermain ilmu pengetahuan dengan gembira. Sesekali piknik dan keluar dari rutinitas itu. Terima kenyataan bahwa yang fana adalah aku. Ilmu abadi.
Saya mencoba menghayati kefanaan manusia pengejar ilmu pengetahuan ini saat memutuskan membuang kebingungan, tidak hadir sama sekali ke berbagai pagelaran seni pertunjukan di beberapa tempat, lalu duduk memainkan Duel Otak di kamar. Sembari menonton Tonari No Totoro dan menyesap secangkir teh tubruk. Ah sial, saya selalu kalah telak di bagian pertanyaan ‘layar kaca’ dan ‘olahraga’. Saya tidak hafal di luar kepala nama mantan kiper Liverpool atau jajaran pemain serial How I Met Your Mother.
Yogyakarta, 25 Oktober 2015.