
Penghujung tahun selalu dihiasi dengan senarai yang dibuat oleh situs media atau blog pribadi seseorang. Senarai tersebut bisa berisi musik, buku, film, destinasi wisata, atau apapun sesuai minat situs atau seseorang tersebut. Ada senarai yang klise karena dibuat oleh situs yang jelas hanya mengejar banyaknya jumlah click demi iklan (baca: uang), ada pula senarai yang dibuat dengan sangat baik oleh beberapa situs independen atau perorangan yang memang memiliki dedikasi tinggi pada bidangnya.
Tahun 2015 menjadi tahun produktif bagi rilisan musik lokal. Setidaknya demikian menurut kamerad Ilham Satrio dan Bung Hilmi yang telah mengulas rilisan tersebut secara apik dan lengkap. Pun penulis idola saya mz Nuran Wibisono telah bersabda mengenai 5 album musik favorit 2015, dan sumpah, saya ndak berani menyanggahnya, terutama di bagian Silampukau.
Di dalam senarai album musik lokal yang dirilis medio 2015 ada beberapa album yang intens saya dengarkan belakangan ini. Saya merasa senarai tersebut telah mewakili apa yang ada dalam pikiran saya, dan yang ingin saya sampaikan. Jadi saya memutuskan tidak akan menambah lagi deretan senarai musik lokal ‘terbaik’, atau dalam pemahaman mz Nuran ‘terfavorit’ 2015. Alih-alih, saya justru akan sedikit mengulas album yang dirilis paling belakang, jelang tutup tahun 2015. Album musik itu bertajuk Sinestesia, band yang melahirkannya adalah Efek Rumah Kaca (ERK).
Sebenarnya saya tidak akan mengulas terlalu dalam album terbaru trio asal Jakarta ini sih. Jujur, amunisi saya tidak cukup jika sekadar berbekal track digital yang saya unduh dari iTunes. Sampai tulisan ini selesai saya belum memiliki bentuk fisik Sinestesia. Niat suci menebus rilisan fisiknya di lapak musik milik teman terkendala liburan panjang akhir tahun sehingga saya harus sabar menanti setahun lagi (maksudnya minggu depan. Hhe).
Tapi sebagai seorang INFJ yang suka gregetan tanpa juntrungan jika ada pikiran terasa mengganjal, gatal sekali rasanya untuk menulis walau dengan pemahaman saya yang centang perenang. Akhirnya, agar bisa bobok nyenyak tanpa ada ganjalan, saya memutuskan menulis seadanya. Barangkali nanti saat cakram padat itu telah berputar saya akan menulis lagi ulasan lebih mendalam mengenai album yang dibuat selama kurang lebih 6 tahun ini.
Secara sepintas, dari bangunan aransemen musiknya saya akan menginterpretasikan Sinestesia sebagai sebuah distopia. Bayangkan saja sebuah dunia Orwellian dengan segala karut marut sosial dan politik saling beririsan. Bayangkan orkestra panjang ala Godspeed You! Black Emperor membangun imajinasi dunia distopia ini dengan musik berdurasi panjang, megah, mengawang, namun kini dengan tambahan ekstra vokal manusia yang mendendangkan narasi.
Lupakan formula pop minimalis a la ERK di dua album sebelumnya. Sinestesia adalah eksperimentasi liar dengan banyak layer sarat getaran pita suara, frekuensi gitar, keyboard, bass, drum, brass section. Pakem pop minimalis ERK makin dilibas keliaran beberapa unsur world music seperti terselip di fragmen Merah, vokal sinden-ish (duh istilah apa pula ini?) berbau pelog di pertengahan fragmen Putih, hingga petikan lagu Dayak Leleng di coda fragmen Kuning. Bangunan aransemen musik sedemikian sarat barang tentu mampu menggambarkan imajinasi terliar dunia distopia.
Kenapa distopia? Jika diperhatikan negara tempat tinggal kita dan ERK ini semakin mendekati imajinasi distopia ala Orwellian: negara ini tidak baik-baik saja. Enam lagu dengan tajuk warna dalam lagu ini menceritakan dengan lugas segala sengkarut sosial, politik, agama di Indonesia.
Merah, Biru, Jingga, Hijau, Putih, dan Kuning. Kenapa semua lagu diberi judul warna? Menurut tulisan ini pemilihan judul dengan warna adalah interpretasi yang coba disajikan kepada pendengarnya.
Saya mencoba memahami interpretasi ERK dengan mengacu pada teori warna Brewster yang menyatakan warna di alam dapat disederhanakan menjadi 4 yaitu warna primer, warna sekunder, warna tersier, dan warna netral. Merah, biru, dan kuning masuk dalam golongan warna primer. Warna dasar yang bukan merupakan campuran dari warna lain. Sementara jingga dan hijau masuk dalam golongan warna sekunder, hasil percampuran warna primer dengan proporsi 1:1.
Saya tidak melakukan wawancara (verifikasi) untuk tulisan ini, maka jadilah saya otak-atik gathuk alias cocoklogy menyimpulkan keenam repertoar dengan tajuk warna bertujuan untuk menggambarkan bahwa ada keterkaitan antara setiap lagu. Imajinasi distopia dibangun dengan warna primer Merah, Biru, dan Kuning, serta Jingga dan Hijau yang merupakan warna sekunder hasil percampuran dari tiga warna primer sebelumnya.
Nah loh, masih ada Putih kan? Di dalam ilmu warna, hitam dan putih tidak dianggap sebagai warna. Jika hitam dianggap sebagai ketidakhadiran seluruh gelombang warna, maka putih dianggap sebagai representasi kehadiran seluruh gelombang warna dengan proporsi yang seimbang.
Kenapa album ini bertajuk Sinestesia? Merujuk KBBI, sinestesia berarti “metafora berupa ungkapan yang bersangkutan dengan indera yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu, biasanya bersangkutan dengan indera lain. Misalnya frase sayur itu pedas dengan kata-kata yang sangat pedas.” Kata ‘pedas’ seharusnya berkonotasi dengan indera perasa (lidah), namun bisa digunakan sebagai sinestesia atau metafora untuk indera pendengaran (telinga).
Tajuk Sinestesia adalah metafora. Beragam warna yang seharusnya bersangkutan dengan indera penglihatan (mata) kini diungkapkan melalui musik yang lebih lekat dengan indera pendengaran (telinga).
Metafora tersebut bisa dipahami dengan konsep desain yang meyakini setiap warna memiliki simbol dan makna. Setiap warna dalam keenam lagu Sinestesia adalah metafora bagi padu padan musik dan liriknya.
Warna merah dapat digunakan untuk menggambarkan kekuatan, energi, bahaya, cinta, nafsu, dan agresi. Persis perkara ‘politik’ yang dibicarakan dalam Merah.
Warna biru bermakna ‘kepercayaan’ bisa membingkai Manifesto ‘Pasar Bisa Diciptakan’ yang diusung ERK sejak beberapa tahun lalu. Fragmen Biru secara lantang menyuarakan kepercayaan “kami hanya akan mencipta segala apa yang kami cinta. Bahagia.”.
Jingga. Warna campuran merah dan kuning ini bisa bermakna misteri, transformasi, dan keangkuhan. Misteri dalam Jingga adalah hilangnya (baca: dihilangkan paksa) para kombatan yang namanya disebutkan secara runut dalam spoken word, transformasi adalah saat “Yang hilang menjadi katalis / Di setiap kamis / Nyali berlapis” dan “’ku bermandi cahaya mentari / Mendarah, mendaging, dan menjadi energi.” Keangkuhan adalah istana yang berdiri kokoh dan bebal meski setiap kamis disambangi katalis, ketidakhadiran negara dalam isu-isu HAM, dan impunitas yang disandang para pelaku pelanggaran HAM tersebut.
Track keempat Hijau secara bernas menyoroti “Banjir informasi, banyak kontradiksi” yang sesungguhnya nisbi. Jika dikaitkan dengan makna warna hijau yang berarti pembaharuan, lagu ini dapat dimaknai sebagai butuhnya pembaharuan cara berpikir manusia Indonesia dalam memilah dan memilih banjir informasi dan banyak kontradiksi. Agar tidak menjadikan “Kebencian menjadi pegangan.”
Meskipun tidak dapat disebut sebagai warna, putih memiliki posisi istimewa dalam ilmu warna. Di belahan bumi barat putih sering dimaknai suci dan dingin karena berasosiasi dengan salju. Sementara di kebanyakan negara timur, putih memberikan kesan kematian karena berasosiasi dengan kain kafan. Fragmen Putih memang bercerita tentang kematian, tragis, menyeramkan karena diceritakan dari sudut pandang orang pertama “Saat kematian datang / Aku berbaring dalam mobil ambulan / … / Tegang, membuka jalan menuju tuhan / Akhirnya aku habis juga”. Seperti lazimnya sifat putih sebagai representasi kehadiran seluruh gelombang warna dengan proporsi yang seimbang, kematian adalah representasi kehadiran seluruh aspek kehidupan yang pernah ada sebelumnya.
Warna terakhir kuning biasa digunakan untuk menggambarkan optimisme dan harapan. Harapan dalam Kuning adalah agar tumbuh “Keberagamaan dan Keberagaman”. Bahwa dalam perkara beragama, masih banyak orang di Indonesia yang “Terjerembab, demi akhirat / Akalnya lenyap, hati berkarat”, padahal beragama seharusnya memahami konsepsi “Lestarilah tumbuhnya / Bermacam agama / Dipancarkan cintanya / Semua bertautan”. Beragama adalah mengenai kedamaian dan keseimbangan hubungan vertikal dan horizontal. Persis petikan tembang ‘Leleng’ di coda lagu yang menggambarkan kedamaian dan keseimbangan dalam kosmologi Dayak Kenyah.
Untuk beberapa orang—terutama yang tidak familiar dengan repertoar panjang bertele-tele ala post-rock atau prog-rock—sinestesia enam warna dalam enam lagu di album tutup tahun 2015 ini akan terkesan membosankan. Berhubung repertoarnya tidak dirancang ramah sing-along dan anthemic semacam Di Udara atau Desember, segenap jamaah ERKiyah patut pula mengucapkan sayonara pada kebiasaan bernyanyi bersama di konser.
Namun menurut pendapat pribadi saya, Sinestesia justru menjadi semacam fit and proper test (Lah dikira pemilihan pejabat?) alias ujian bagi para pendengar musik ERK: apakah kuping mereka tabah digelontor orkestrasi distopia berdurasi 8-12 menit per lagu, apakah nalar mereka bisa diajak memahami sinestesia enam warna dalam enam repertoar yang disajikan? Terakhir, siapkah mereka digetok kepalanya dengan kesadaran bahwa semakin ke sini distopia Orwellian ini mewujud makin nyata di zamrud khatulistiwa yang terombang-ambing oleh berbagai problema.
Demikian kiranya ulasan centang perenang saya tentang warna-warna Sinestesia. Apabila ada kesalahan datangnya dari saya sendiri, apabila ada kebenaran datangnya dari YME. Yang Maha ERK. *Toss*. *Salim*.
Yogyakarta, 29 Desember 2015.