(Dimuat di Ketjilbergerak 29 Juni 2014. http://www.ketjilbergerak.org/titik-titik-titik-menjadi-avant-garde-itu-tidak-mudah-bung/)
Ada 3 fase dalam hidup yang harus dijalani manusia: lahir, menjalani hidup, mati.
Entah apabila ada fase lain yang disusun manusia berlainan, setidaknya itulah yang hendak disampaikan Moch. Gigin Ginanjar—atau yang lebih akrab dengan nama nyeniman Gigin ‘Rajin’ Sholat—dalam karya terbarunya bertajuk “…” (Titik Titik Titik). Karya yang dipentaskan pada hari Minggu, 22 Juni 2014 pukul 19:33 WIB di Teater Arena FSP ISI Yogyakarta ini adalah sebuah karya retrospektif, karya untuk mengenang, persis hantu malam Natal yang mengajak manusia mengenang masa lalu, menghayati masa sekarang, dan mengharapkan masa depan.
Bentuk retrospektif itu mengejawantah dalam sebuah komposisi yang bisa dibilang cukup aneh, atau jika meminjam istilah sang komponis yang sedang tergila-gila dengan istilah ini: cukup avant-garde. Untuk sekian banyak penonton awam yang hadir pada malam itu, barangkali cukup dibuat terbengong-bengong dengan ulah Gigin yang menata 3 buah bonang memutar di stage, sementara di bagian belakang ada gong dan kempul. Tiga orang pemain berada di atas stage dengan topeng di wajahnya. Komposisi diawali dengan tiupan suling Sunda, semacam penegasan dari etnis mana sang komponis berasal. Ini ditingkahi dengan hentakan gong dan kempul sebagai penegas, namun tidak seperti lazimnya permainan instrument kolotomis ini dalam gamelan Jawa atau Sunda, Gigin malah menghadirkan cara baru dalam memainkan keduanya: dipukul dengan tangan, tanpa penabuh atau panakol.
Kemudian masuklah komposisi ini ke bagian yang pasti membuat banyak orang kebingungan: ketiga pemain yang ada di stage memainkan 3 bonang dengan rentetan nada-nada yang terdengar sangat asing, jauh dari kenyamanan saat kita mendengarkan pola-pola gamelan dalam Karawitan Sunda, Jawa, atau Bali sekalipun. Ritmis-ritmis yang aneh, nyaris chaos walau sesungguhnya ketiga bonang ini mengalami interlocking atau keterkaitan. Setelah beberapa lama, komposisi ini berakhir begitu saja, meninggalkan penonton (awam) dalam kebingungan dan pemikiran “kamu mau ngomong apa sih bung dalam karya ini?” Kemudian Gigin sebagai komponis muncul ke stage dengan senyum lebarnya, senyum bahagia seorang avant-gardis yang berhasil mengobrak-abrik kemapanan hidup penontonnya.
Apabila hanya menilik apa yang nampak secara empiris di karya “…” ini, Gigin memang rawan mendapatkan cibiran: “ah masak untuk sebuah karya tugas akhir kuliah cumabegitu saja? kluntang klunting bonang yang dipukul sembarangan.” Cibiran ini terutama akan muncul dari para penonton yang sebelumnya memang selalu mengikuti setiap penampilan Gigin dalam pentas. Sebelumnya karya-karya pria penyuka kopi hitam ini memang selalu berkesan megah, meriah, ramai, dan rumit. Misalnya saat Gigin mengaransemen lagu daerah Manuk Dadali, lagu dari tanah Sunda ini diinterpretasikan dalam medium Gamelan Bali dan koor vokal. Kemudian karya berikutnya Triplex juga terkesan megah dengan gamelan Bali yang memang selalu terdengar megah. Contoh terakhir adalah komposisi Senja Merona yang menjadi semacam opera epik dalam bentuk musik. Kemegahan opera ini terbagi dalam 3 chapter yakni Birahi Sejati, Celah Murka, dan yang terakhir Kematian Gigin. Barangkali banyak orang masih hanyut dalam euphoria Senja Merona yang megah dan bikin gempar karena pada suatu petang karya ini membikin jalan sepanjang boulevard kampus ISI harus diblokade demi hasrat sang komponis merenungi kematiannya tatkala senja merona merah di cakrawala. Euphoria ini praktis membikin banyak orang menyimpulkan bahwa karya terakhir Gigin “…” ini adalah sebuah penurunan kualitas, Gigin mengalami kemunduran dari yang sebelumnya mampu melahirkan karya yang megah, menjadi sebuah karya yang alakadarnya.
Namun seperti yang diyakini aliran pemikiran rasionalisme saat menegasikan empirisme bahwa datum panca indera seringkali menipu sehingga apa yang empiris atau nampak oleh pancaindera kita sesungguhnya belum tentu kebenaran. Maka apa yang nampak secara empiris dalam karya Gigin ini sesungguhnya bukan kebenaran yang hendak disampaikan olehnya. Jika hanya mengandalkan empirisme, wajar jika banyak orang terkecoh dan menganggap secara banal karya Gigin ini sebagai sebuah degradasi pengkaryaan. Diperlukan sebuah pemikiran yang lebih mendalam untuk memahami karya Gigin ini, saat kita mampu menelanjangi lebih dalam, barulah dapat kita saksikan betapa pesat kemajuan sang komponis dalam perjalanan penciptaan musiknya.
Gigin ‘Rajin’ Sholat berusaha mengatakan kepada para penonton bahwa “menjadi avant-garde itu tidak mudah, bung!!!” Sang komponis tidak serta merta hadir dalam bentuk nyleneh karya “…” ini begitu saja. Tiba-tiba mendapat wangsit surgawi dari langit yang menyuruhnya membuat komposisi ajaib tersebut. Atau membuat sebuah karya kontemporer sebagai justifikasi bagi skill bermusik yang cetek dan dibawah rata-rata. Gigin adalah sebuah contoh bahwa untuk menjadi seorang avant-gardis seseorang harus menguasai yang biasa dulu. Avant-garde muncul dari kebosanan akan yang biasa ini, proses menyadari kebosanan ini pun terkadang tidak sebentar, butuh waktu dan keterbukaan pemikiran.
Apabila kita analogikan kondisi biasa ini sebagai sebuah nasi putih, seorang seniman biasa akan mengotak-atik nasi tersebut dengan cara membiarkan bentuk asli nasi putih, lalu menambahkan instrumen pendukung dalam nasi putih tersebut, misalnya lauk-pauk seperti telur, ayam, sayur kangkung, dan lain sebagainya. Seorang seniman avant-garde sudah menjalani proses ini, ia sudah menambahkan berbagai lauk-pauk ke dalam nasi putihnya, namun menurutnya tetap saja tidak ada kepuasan berkarya, ada yang janggal dan ganjil menurutnya. Inilah keganjilan yang dipicu oleh kebosanan, saat bosan inilah sang seniman avant-garde akan mengobrak-abrik kemapanan yang ada dan berusaha bereksperimen untuk menghadirkan makna baru dalam komposisinya: misalnya dengan menggoreng nasi putih itu, atau menambahkan ayam atau abon dalam nasi putih membungkusnya dengan daun pisang dan menjadikannya arem-arem. Atau yang lebih ekstrim memasukkan nasi putih itu dalam bambu lalu membakarnya. Inilah avant-garde, saat seniman berada dalam titik-nadir pengkaryaan, dan bereksperimen untuk memperoleh kepuasan estetis.
Berkaca pada perjalanan pengkaryaan Gigin, ia sudah melewati proses-proses yang biasa tersebut. Baik di bangku kuliah maupun di pentas luar, ia sudah mengasah dirinya dengan skill yang cukup mumpuni, pun dengan cita-rasa musik tradisi yang adiluhung. Setelah puas dengan proses itu, dan melahirkan berbagai karya dengan bentuk konvensional yang rapih, megah dan meriah. Bisa jadi ia jenuh dan bosan. Ia menemukan sebuah pemikiran: bagaimana kalau ternyata selama ini aku menyikapi setiap instrumen etnis yang ada dalam komposisiku sebatas sebagai sebuah objek? Yang bisa ditata sesuka hati sesuai kebutuhan komposisiku. Atas kegelisahan ini lantas Gigin menghadirkan sebuah karya yang tidak mengeksplorasi kesempurnaan bentuk empiris dalam “…”, justru Gigin lebih suka mengeksplorasi sesuatu yang lebih dalam disini: spirit dari gamelan. Instrument gamelan di sini hanya dianggap sebagai medium, sementara itu dibaliknya ada sebuah spirit, elan-vital yang begitu kuat. Jika dicermati lagi sikap Gigin ini adalah kritik pada dua ranah musik yakni konvensional dan avant-garde. Yang pertama pada musisi konvensional yang selalu mengedepankan kesempurnaan bentuk empiris dari karya, namun tidak menyelipkan spirit atau elan-vital seperti disebutkan di atas. Yang kedua kritik kepada para seniman avant-garde (atau mereka yang mengaku avant-garde dan kontemporer) bahwa menjadi avant-garde bukanlah justifikasi saat mereka tak mampu bermain musik konvensional secara benar, dan ini bukan wangsit yang mendadak muncul dari langit. Butuh proses panjang sebelum seseorang menjadi avant-garde.
Yang perlu diketahui kemudian adalah alasan mengapa Gigin ‘Rajin’ Sholat selalu tergila-gila dengan bentuk ‘segitiga’ dan selalu mengeksplorasi bentuk ini dalam tiap karyanya. Sedikit banyak melalui bentuk segitiga dengan tiga sudut ini dapat dibaca secara retrospektif perjalanan hidup sang komponis. Bahwa Gigin telah terlahir ke dunia, lalu menjalani hidupnya dengan berbagai pelajaran dan petuah yang menjadikannya sebagai seorang seniman seperti sekarang, lalu mati meninggalkan dunia. Sekalipun yang mati bukan jasad fisiknya yang fana karena toh ia masih menginjakkan kakinya di bumi dan suka nongkrong di warung burjo dekat kampus Sewon, paling tidak ia berhasil membunuh egonya sebagai seniman konvensional yang mengumbar kemegahan skill atau bentuk musik. Ya, Gigin yang itu sudah mati. Reinkarnasinya adalah Gigin yang sekarang, seorang seniman yang memiliki pemikiran yang out of the box dan nyeleneh (baca: avant-garde). Selamat terlahir kembali Gin, semoga makin rajin sholat biar masuk surga estetika.
Yogyakarta, 29 Juni 2014
Aris Setyawan: Mahasiswa tingkat akhir jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan, Ketua KKM Keilmuan Etnomusikologi, penulis lepas di beberapa media, pernah bermain drum di band folk Aurette and The Polska Seeking Carnival, inisiator gerakan peduli anak jalanan Save Street Child Jogja. Penggila baca, pemuja kucing, berharap semoga suatu hari Radiohead konser di Indonesia. Tulisan lainnya dapat dibaca di http://arissetyawanrock.wordpress.com. Dapat dihubungi melalui twitter @arissetyawan atau email [email protected]