Surealisme Kampus Sewon

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underRandom Thought

11058526_10207009565105554_2804177900819408037_n

Surealisme sering dipahami sebagai sebuah aliran dalam seni yang memaparkan sesuatu yang di luar kenyataan, seni yang mengeksplorasi alam bawah sadar, sesuatu yang lebih dari yang real. Surealisme adalah instrumen menyampaikan keresahan-keresahan mengenai realitas ke dalam forma yang di luar realitas. Meminjam definisi Dwi Marianto surealisme bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi Indonesia yang janggal pasca keruntuhan orde baru. Manusia Indonesia terjebak dalam kebingungan karena merasa merdeka dari rezim jumawa namun sesungguhnya kebebasan ini semu karena toh mereka tetap miskin dan tidak mampu mencicipi kesejahteraan.

Contoh kejanggalan tersebut dapat dilihat saat Dwi Marianto menggambarkan adanya sebuah papan reklame raksasa mengiklankan mobil sport mewah di Yogyakarta, sementara di bawahnya berdiri sebuah kios tambal ban reyot. Inilah surealisme Indonesia, saat citra-citra kemewahan tak terjangkau oleh mereka yang menganggap semua itu bukan bagian dari kehidupannya yang nestapa. Sejak kapan penambal ban dengan kios reyotnya mampu menambal ban mobil sport mewah persis reklame di atas kiosnya? Persis lukisan surealisme yang menabrakkan simbol-simbol yang real dengan yang sureal, kios penambal ban adalah yang real, bertabrakan dengan citra mobil sport yang sureal.

Surealisme juga dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang terjadi di sebuah kampus seni tertua di Indonesia (sebut saja namanya kampus Sewon). Surealisme tersebut bisa dilihat setidaknya dalam perayaan ulang tahun ke 31 kampus Sewon yang baru saja dirayakan dengan gegap gempita.

11252346_10153032616618031_3831665319001813164_n

Yang real di kampus Sewon adalah para mahasiswa dan akademisi yang seharusnya bisa belajar memahami apa itu seni dan bagaimana berkesenian. Mereka terpisah dengan yang sureal: kampus tempatnya bernaung. Bagi mereka kampus dan tetek bengek birokrasi serta politik praktisnya adalah sesuatu yang mengawang-awang, tak terjangkau nalar dan kemampuan. Kembali ke perkara ulang tahun kampus, pemisahan yang real dan yang sureal ini dapat dilihat dari fakta bahwa mahasiswa hanya dilibatkan sebagai penyumbang tenaga dalam gempita perayaan, bukan konseptor dan penyumbang gagasan atau ide.

Kondisi ini merepresentasikan sesuatu yang lebih besar: mahasiswa kampus Sewon memang sedang dibiasakan untuk menjadi tukang, pekerja lapangan, bukan pemikir dan konseptor yang biasa mengasah kemampuan berpikir kritis. Ada sebuah skenario besar yang dikendalikan oleh tangan tak terlihat menyetir kebijakan kampus Sewon untuk memaksa mahasiswa tercerabut dari kemampuan berpikirnya, agar menjadi tukang yang malas berpikir kritis. Kampus Sewon tiba-tiba malih rupa menjadi apa yang disebut Marx sebagai kapital yang mengalienasi mahasiswa dari kemampuan diri yang sebenarnya.

Ini adalah banality of art. Mengotak-atik gagasan banality of evil yang dilontarkan Hannah Arendt untuk menjelaskan kejahatan yang terjadi tanpa motif, kejahatan yang terjadi karena sekadar menuruti perintah atau tugas. Para mahasiswa kampus Sewon terjebak dalam seni yang dangkal saat mereka dididik untuk menjadi mahasiswa hafalan yang berkesenian hanya berdasarkan perintah tanpa motif dan tujuan.

Jpeg

Tema besar perayaan ulang tahun kampus Sewon yang bertajuk “Implementasi Seni Berbasis Riset dan Teknologi” adalah sesuatu yang sureal karena tema ini terlalu mengawang-awang saat kampus mengabaikan fakta bahwa para mahasiswa membutuhkan sesuatu yang lebih elementer: staf pengajar yang up to date dengan isu-isu seni dan sosial terbaru, fasilitas pembelajaran seni yang lebih lengkap, serta buku-buku penyumbang wacana yang lebih banyak. Untuk apa mengusung tema seksi nan tinggi jika mendukung perkembangan keilmuan mahasiswa secara elementer saja belum tercukupi?

Mengutip gagasan Citra Aryandari dalam tulisannya di koran Kedaulatan Rakyat, tema besar ini disebutnya sebagai latah riset seni. Lebih lanjut staf pengajar di fakultas seni pertunjukan ini menyatakan tema besar riset dan teknologi dalam perayaan ulang tahun kampus Sewon hanya didasarkan pada kenyataan kampus Sewon sekarang bernaung di bawah kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi. Jika tidak didukung implementasi nyata tema ini sekadar menjadi jargon dalam rangka menuruti aturan birokrasi di atas kampus Sewon.

Manuver kampus Sewon yang berkelit cepat mengubah haluan menjadi kampus riset seni setali tiga uang dengan manuver saat sebelumnya bernaung di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan. Kampus Sewon gencar mengaungkan kata kunci pelestarian kebudayaan, bahkan sempat terlontar wacana mengubah nomenklatur nama kampus dengan menyelipkan kata ‘budaya’. Manuver ini adalah politik praktis, tidak substansial dan memang latah. Buktinya, belum sempat optimal menggaungkan wacana pelestarian budaya sekarang kampus Sewon mengubah haluan menjadi kampus riset seni. Pertanyaannya: akan berubah haluan menjadi kampus apa lagi kelak saat kampus Sewon pindah rumah di bawah kementerian dengan wacana lain?

Jpeg

Ibarat peribahasa “gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah”, para mahasiswa adalah pelanduk yang mati karena para begawan birokrasi (gajah) sibuk bertarung dalam kancah perpolitikan. Inilah surealisme, para mahasiswa tidak memiliki akses untuk bersuara pada para begawan ini. Kalau pun bisa bersuara, mereka tidak didengarkan para begawan.

Jpeg

Setiap tahun perayaan ulang tahun kampus selalu mengulangi kesalahan (baca: kejahatan) yang sama: selebrasi formal tanpa perubahan berarti. Sudah banyak yang mengritik kondisi ini seperti ST Sunardi yang menggugat absennya kampus Sewon dari perkara common sense masyarakat karena terlalu sibuk memoles kesempurnaan kampus seni. Atau Syafii Maarif yang menyentil kampus Sewon saat menjadi pembicara di perayaan ulang tahun kampus ke 27.

Sekalipun sudah disentil begitu banyak orang, namun toh kampus Sewon tetap jalan di tempat, melenggang nyaman dengan kemandegan konstan. Suara-suara yang muncul sebelumnya, atau yang muncul di perayaan ulang tahun ke 31 dianggap sekadar angin lalu. Maka perayaan kampus Sewon tahun ini dapat dipastikan bukan merayakan hari kelahiran, ini adalah apa yang disebut pegrafis dan staf pengajar seni rupa Andre Tanama: merayakan kematian.

Eksistensi rezim orde baru yang secara represif selama 32 tahun menjadikan kondisi Indonesia menjadi sureal sebenarnya adalah nilai lebih jika kita pandang dengan kacamata Foucault “setiap ada kuasa akan ada perlawanan.” Bagaimana pun, orde baru nan represif akhirnya melahirkan para kombatan yang melawan kuasa. Baik dalam bentuk aksi politik maupun karya seni. Jika tidak ada orde baru, barangkali tidak akan lahir Partai Rakyat Demokratik (PRD) atau Iwan Fals dengan lirik nakal menyentil kesewenang-wenangan. Kondisi fasis memicu timbulnya revolusi.

Bukan tidak mungkin surealisme kampus Sewon pada akhirnya akan memicu lahirnya para kombatan yang capek dan jengah dengan stagnasi kondisi akademis kampus, lalu bergerak dalam rumus yang sama saat para kombatan menghancurkan kuasa orba. Siapa tahu setelah perayaan ulang tahun ke 31 ini akan lahir para mahasiswa yang beraktivisme politik, atau para seniman yang menyelipkan kritik sosial pedas dalam karya estetisnya.

Mengamini anekdot umum di Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia: ambil saja hikmahnya. Patut dilontarkan ucapan selamat kepada kampus Sewon yang berulang tahun ke 31. Stagnasi kondisi ini diambil saja hikmahnya. Hikmahnya adalah: mempercepat lahirnya para kombatan (mahasiswa, calon seniman) yang menggerakan revolusi. Para kombatan yang mengamini pernyataan Dwi Marianto dan lebih peka untuk memahami negaranya tengah berada dalam sebuah kondisi surealisme.

Yogyakarta, 2 Juni 2015.

Catatan:

*Lampiran foto adalah jepretan pribadi dan diambil dari berbagai sumber.

**Foto Andre Tanama adalah dokumentasi dari aksi performing art yang dilakukan pegrafis itu di kampus Sewon pada tanggal 1 Juni 2015. Andre Tanama memberi judul aksi tersebut Bau.

***Artwork yang dilampirkan adalah sebagian kecil dari banyak karya yang dipamerkan di pameran Dies Mortalis, Die Fatalist! yang diadakan sepanjang perayaan ulang tahun kampus Sewon berlangsung.

 

Daftar Bacaan dan Sumber

Buku

Aryandari, Citra. 2015. Latah Riset Seni. Dalam Koran Kedaulatan Rakyat Edisi 31 Mei 2015.

Marianto, M. Dwi. 2001. Surealisme Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi.

Mills, Sara. 2003. Michel Foucault. London: Routledge.

Sheehan, Sean M. 2014. Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Tangerang: Marjin Kiri.

Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan Dalam Pemikiran Hannah Arendt. Tangerang: Marjin Kiri.

Sunardi, ST. 2012. Vodka dan Birahi Seorang “Nabi” Esai-esai Seni dan Estetika. Yogyakarta: Jalasutra.

Internet

http://berkacakata.blogspot.com/2015/03/memaknai-film-eksperimental.html

http://indoprogress.com/2015/01/kapitalisme-dibalik-permasalahan-gerakan-mahasiswa/

https://serunai.co/ariscms/2012/01/31/menolak-konversi-isi-menjadi-isbi/

https://serunai.co/ariscms/2013/06/25/seni-untuk-apa/

https://serunai.co/ariscms/2015/05/02/seniman-karbitan/

https://www.facebook.com/andre.tanama.3/media_set?set=a.10205539827427825.1073741844.1016267610&type=1&pnref=story

https://www.facebook.com/andre.tanama.3/posts/10205516341600694

https://www.facebook.com/notes/10152929031390808/?pnref=story

https://www.facebook.com/notes/10152932225775808/

https://www.facebook.com/notes/cermin-jogja/kampusku-ulang-tahun-lagi/101830599913177

Taggedaktivismeindonesiakritikpendidikanpolitiksenisurealismeyogyakarta


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan