(Tulisan untuk karya Founding Mother yang dibuat oleh komunitas Rangka Tulang. Karya Rangka Tulang sendiri dibuat sebagai respon pada karya Indieguerillas/Ketjilbergerak yang berbentuk Galeri Nginjen (Ganjen) yang diletakkan di dalam dome Art Jog 2015. Pameran di dalam pameran ini dikuratori oleh kurator muda berbakat filsafat Sita Magfira)
“…hanya pemenang yang kita yakini”
Dear Sam
Apa kabarmu Sam? Pasti kau sedang sibuk berjibaku dengan berbagai pemikiran ya untuk menyusun teori-teori demi masa depan bangsa yang lebih baik. Karena itulah peranmu sekarang, seorang guru besar di gedung berkubah besar. Tapi semoga kau tetap sempat membaca sekilas larik bait lagu Impresi milik Pas Band yang aku kutip di atas. Bukankah kau dulu pernah muda dan menggemari lagu pop juga kan? Semoga kau pernah sekali dua kali mendengar lagu itu.
Hanya pemenang yang kita yakini, bait ini adalah kritik pada hipokrisi sejarah yang konon selalu ditulis oleh pemenang. Tapi Sam, bukankah kau kini sudah jadi pemenang dengan bercokol di kursi nyaman itu? Apakah kau menerjemahkan bait lagu Pas Band itu sebagai kritik pada status quo? Atau malah kau jadikan justifikasi bahwa memang pemenang harus selalu menjadi yang diyakini. Kau sebagai pemenang harus selalu diyakini sebagai pembuat kebenaran sejarah.
Aku memang tidak mengenalmu secara pribadi Sam, tapi sebagai sesama lelaki yang lahir di dunia nan misoginis aku anggap kau sebagai sahabat baik dan pasti aku selalu mendukung setiap sepak-terjangmu. Kita anggap saja lirik lagu itu sebagai ayat suci pendukung mental pemenang kita. Persetan dituding misinterpretasi. Toh menafsirkan setengah-setengah adalah satu dari tiga penyakit bangsa kita yang dianggap umum dan wajar, selain fundamentalisme dan tidak melek sejarah. Sebagai lelaki yang dibesarkan di dunia yang dibangun dengan mental male chauvinist dan misoginis tentu aku satu pemahaman denganmu: Laki-laki adalah pemenang.
Nah demi melanggengkan status quo kita sebagai pemenang maka konsistensi itu perlu Sam. Kau juga harus konsisten mengampanyekan budaya misoginis dan membabat habis bentuk perlawanan apapun yang berusaha merubuhkan status pemenang itu dengan kata kunci ‘kesetaraan gender’.
Pssstt, jangan sampai surat ini dibaca orang lain! Aku perlu memberitahumu bahwa di Yogyakarta ada upaya merubuhkan status pemenangmu. Mereka berusaha membelokkan sejarah, mendekonstruksi fakta sejarah yang sudah mapan dibangun oleh kaum ber-phallus. Mereka menyebut dirinya Rangka Tulang, dan mereka bikin sebuah karya bertema Founding Mother untuk merespon karya Together We Are Lonely yang dibuat Indieguerillas di perhelatan Art Jog 2015.
Ini mengerikan Sam, mosok karya mereka ini dibuat dengan dua perspektif: art-historiografi dan dekonstruksi wacana melalui seni. Aku jabarkan ya supaya kau tahu bahwa dua perspektif mereka itu membahayakan status kita sebagai pemenang.
Pertama, mengenai art-historiografi. Mereka ini kan seniman. Ngapain seniman bikin karya seni untuk meluruskan sejarah? Bukankah kita mafhum bahwa seni seharusnya bicara yang tinggi-tinggi, seni harusnya high art, seni seharusnya bisa diotak-atik sedemikian rupa sehingga justru bisa melanggengkan status pemenang. Persis yang kau lakukan itu Sam, saat memelintir kisah pewayangan dengan menyebut peran sentral para tokoh laki-laki seperti Arjuna, Werkudara, atau Gatotkaca dan meminggirkan sosok perempuan seperti Srikandi atau Limbuk dan Cangik.
Lebih lanjut kau bilang bahwa melalui kaca mata filsafat Jawa dapat dipahami kenapa laki-laki harus menjadi di atas perempuan dalam segala aspek. Kau mengutip petitih Jawa yang bilang sumber kerusakan dunia adalah harta, takhta, dan wanita. Wanita adalah sumber kerusakan itu katamu. Nah konsep art-historiografi Rangka Tulang ini akan membahayakan keyakinanmu Sam, sebab mereka mau mendekonstuksi keyakinanmu. Mereka mau bilang bahwa perempuan juga memiliki peran sentral dalam sejarah bangsa Indonesia.
Aku jabarkan perspektif kedua mereka mengenai dekonstruksi wacana melalui seni. Selama ini kau, aku, dan banyak orang selalu mengkultuskan RA Kartini sebagai sosok perempuan ideal dalam sejarah, kita mengamini doktrinasi kolonial dan diteruskan orde Cendana yang menahbiskan Kartini sebagai satu-satunya Patron. Perempuan Indonesia harus seperti Kartini, bersanggul dan berkebaya, lalu kita menerjemahkan gerakan perempuan sekadar sebagai upaya menolak domestifikasi perempuan di ranah rumah tangga.
Rangka Tulang ini mau mengingkari apa yang kita yakini selama ini bahwa RA Kartini adalah satu-satunya patron sosok perempuan yang berdaya di Indonesia. Tidak mengecilkan peran domestik perempuan, namun menurut Rangka Tulang gerakan perempuan harus menyentuh ranah yang lebih luas di luar tembok domestifikasi rumah tangga: politik, ekonomi, pendidikan.
Atas dasar itulah mereka mengangkat sosok Sri Wulandari Mangunsarkoro dalam karya bertema Founding Mother tersebut. Menurut mereka konsep founding father sebagai pendiri bangsa itu terlalu male chauvinist dan misoginis. Terlalu meninggikan laki-laki dan mensubordinat perempuan.
Melalui karyanya komunitas seni ini menggambarkan sepak terjang pergerakan Sri Wulandari Mangunsarkoro dalam empat fase: 1) Cinta: Perjumpaannya dengan Ki Mangunsarkoro. 2) Politik: Mendirikan Partai Wanita Rakyat pada tahun 1948. 3) Gerakan: Membentuk Klub Renang Wanita Pertama di Indonesia. 4) Konseptor. Pada Kongres Perempuan tahun 1952, ia mengusulkan pendirian monumen peringatan kongres Wanita Pertama 1928, berupa gedung yang kemudian disempurnakan dan kini dikenal sebagai gedung Wanitatama.
Tuh kan, karya mereka kok mendorong perempuan bergerak dalam praksis politik segala? Bukankah seharusnya gerakan perempuan itu mentok saja sudah di perkara cinta di rumah tangga, seperti RA Kartini yang dikultuskan serta dijadikan ikon untuk menyempitkan pergerakan perempuan di ranah domestik.
Semoga kau masih membaca sampai sini Sam, dan memahami benar peringatanku bahwa karya Rangka Tulang ini berbahaya. Statusmu dan statusku sebagai pemenang tengah diancam dengan media kolase di atas kanvas.
Tapi tenang saja Sam. Kita ini kan pemenang, kuasa kita sudah bercokol begitu lama. Phallus kita yang tegak akan selalu bisa mengalahkan labia yang lembek. Lagipula dirimu kan seorang guru besar yang punya banyak akses untuk melanggengkan kuasa itu, koneksimu ke meja redaktur koran-koran besar tentu banyak toh? Nanti kau tinggal tulis lagi sebuah esai pendek untuk menegasikan karya Rangka Tulang itu. Toh mereka hanya seniman hipster gitu loh Sam.
Iya Sam, Hipster. Kau tahu terminologi hipster kan? Mereka yang enggan terseret arus budaya mainstream dan selalu berenang di arus budaya sidestream. Kau simaklah Sam bagaimana rekam-jejak Rangka Tulang! Mereka ini tumbuh dan berkembang di sebuah kampus seni tertua di Indonesia. Mereka enggan mengikuti arus utama seni yang diajarkan di kampus itu agar menjadi seniman yang mengagungkan estetika art for art. Alih-alih mereka malah keluar dari arus utama itu dan bergerak dengan konsep art-historiografinya. Tuh kan hipster kan Sam?
Aku miris Sam, kenapa mereka tidak seperti para seniman atau mahasiswa calon seniman lain di kampus seni tertua di Indonesia itu sih? Yang duduk tenang mengikuti apapun dogma bernama kurikulum yang disabdakan oleh institusi seni. Kenapa mereka harus keluar dari arus utama itu dan sibuk memprotesnya. Contohnya, kemarin mereka bikin performing art bertajuk Garda Belakang. Lalu mereka juga berkontribusi bikin karya untuk pameran Hitam Kampusku di Galeri Perlawanan, sebuah galeri dadakan yang dibikin di gedung student center kampus Sewon yang sesak.
Kadar hipsterdom mereka makin kental jika kita lihat rekam jejak Rangka Tulang saat membuat pameran-pameran yang mengangkat sosok tokoh-tokoh alternatif dalam sejarah pembangunan bangsa. Ngapain sih mereka mengulas sosok Tirto Adhi Suryo dan Tan Malaka? Kenapa tidak ikut arus mainstream sejarah bangsa yang sudah mapan saja dan mengulas Soeharto, RA Kartini, atau kalau perlu Sarwo Edhie walau mereka bakal banyak dicecar aktivis yang berusaha membongkar tabir kelam 1965.
Duh Sam, maaf nampaknya suratku sudah terlalu panjang. Aku tidak tega jika waktumu yang sangat berharga sebagai maha guru harus tersita untuk membaca barisan kalimat dangkalku ini. Intinya Sam, kau harus sempatkan waktu sejenak terbang ke Jogja! Tengoklah karya Rangka Tulang di Galeri Nginjen ini, lalu segeralah tulis esai yang bisa dimuat di koran nasional!
Jangan takut Sam, mereka kecil, kita besar. Wacana dekonstruksi mereka untuk menuntut kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan bisa diruntuhkan dengan mudah. Mungkin setelah ini kau bisa tulis esai dengan basis teori yang rigid dan mbulet–mbulet agar dominasi kita sebagai kaum male chauvinist tetap terjaga, awet, langgeng selamanya. Rangka Tulang memang berbahaya, makanya sebelum mereka menjadi lebih besar kita harus segera meredam bara perlawanan mereka agar muspra menjadi jelaga hitam.
Kau harus konsisten dengan gagasanmu bahwa perempuan berkutat saja di ranah domestik. Kau harus mengatakan pada Rangka Tulang bahwa cukup RA Kartini saja yang menjadi patron gerakan perempuan ideal, tak perlulah kiranya membahas Sri Wulandari yang tidak terkenal itu.
Kalau bisa di sela waktumu menulis esai itu mbok suratku dibalas ya Sam! Salam kenal dari teman barumu, seorang male chauvinist yang terusik oleh dekonstruksi wacana gender komunitas Rangka Tulang.
Yogyakarta, 17 Juni 2015.
*Aris Setyawan. Etnomusikolog. Penulis Lepas. Tulisan lainnya dapat dibaca di http://www.arissetyawanrock.wordpress.com. Dapat dihubungi di email [email protected] atau twitter @arissetyawan.