(Pengantar untuk pameran seni rupa Steal If You Dare yang diadakan pada 21 juni 2014 di Klinik Kopi, Jogja)
Pada tahun 1712, seorang pria berkewarganegaraan Inggris bernama Thomas Newcomen menemukan pompa air. Pompa yang dapat digunakan para pekerja tambang di pertambangan batubara di Inggris. Dengan penemuan pompa air itu, alih-alih menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengeluarkan air dari dalam tambang, maka para pekerja tambang dapat menggunakan waktu dan tenaganya untuk menambang lebih banyak batubara. Hal ini memicu sebuah perubahan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya: it’s all about productivity. More coal per hour man. More steel per hour man. More goods per hour man. Inilah titik awal dari sebuah revolusi industri. Revolusi yang mengubah cara hidup manusia dari yang sebelumnya meramu dan berburu menjadi manusia industri. Manusia yang mengedepankan percepatan dalam segala hal demi harga mati produktivitas.
Revolusi industri pada awalnya berdalih membuat kenyamanan dalam kehidupan manusia dengan mempermudah segalanya diproduksi. Logika revolusi industri ini sebenarnya cukup masuk akal karena berbagai penemuan yang dihasilkan revolusi industri ini nampaknya memang mempermudah hidup manusia. Sekian lama setelah berjalan, ia telah menghasilkan berbagai produk yang mempermudah kehidupan. Seperti mobil untuk berkendara atau makanan dan baju yang lebih mudah didapatkan, dengan harga yang murah karena dipicu efisiensi dan produktivitas tadi.
Namun ternyata revolusi industri memiliki efek buruk yang tak bisa dihindari. Dan efek ini yang sudah dikritik oleh begitu banyak pemikir, salah satu yang menjadi pionir adalah Karl Marx yang menggugat sistem produktivitas ala revolusi industri. Menyebutnya anak haram yang bernama kapitalisme, sebuah sistem yang membuat manusia menjadi alat yang dikuasai oleh produksi, mengasingkannya dari kehidupan. Revolusi industri menjadikan yang kaya dan bermodal menjadi penguasa, sementara yang lemah dan tak memiliki posisi tawar sekadar menjadi alat industri. Lama-kelamaan ini menjadikan pemodal sebagai sesuatu yang John Pilger sebut sebagai the new ruler of the world. Penguasa baru dunia yang berkedok di bawah sebuah institusi resmi bernama korporasi. Akhirnya, inilah hasil akhir dari revolusi industri: Negara sudah usang, korporasi adalah negara baru dengan kapital sebagai ideologi utama, serta uang sebagai agama. Dan seperti lazimnya sifat agama, umat yang menganutnya akan melakukan segala cara untuk membelanya. Demi membela agama baru bernama uang ini para manusia industri ini akan mengenyahkan apapun, kalau perlu menyedot habis air samudera dan membabat musnah hutan belantara. Serta menggusur manusia—siapapun itu yang menghalangi jalan mereka.
Kondisi ini dapat kita lihat di Indonesia, sebuah Negara yang kedaulatannya sering diobok-obok oleh penguasa dunia baru ini. Negara dengan sumber daya alam yang begitu kaya namun habis disedot oleh bangsa kapital. Kematian kedaulatan Negara ini dapat dilihat pada kasus terdekat tatkala organisasi perdagangan dunia, WTO mengadakan konferensi di Bali. Yang ternyata adalah upaya lobi oleh para pemodal besar kepada pemerintah untuk menguasai berbagai sektor industri di Indonesia. Atau dapat dilihat betapa menggelikannya kondisi saat presiden mengeluarkan perpres yang isinya mendukung reklamasi teluk Benoa di Bali. Reklamasi yang ditolak oleh banyak aktivis dan lapisan masyarakat karena akan merusak alam dan mematikan hajat hidup orang banyak. Dan jangan lupakan berbagai konsesi mengolah hasil hutan yang dikuasai cukong-cukong, atau dibabatnya belantara demi perkebunan sawit yang membuat tanah cepat rusak. Sementara itu salah satu calon presiden yang gemar berkuda memiliki logika sesat kapitalis bahwa hutan yang rusak tak perlu dirawat, tapi tanah gundulnya dijadikan industri saja. inilah kapitalisme, sebuah sistem yang menggerakkan revolusi industri menjadi digdaya.
Di tengah kondisi distopia seperti ini, bukan berarti tak ada yang melawan. Seperti dijabarkan Foucault bahwa dalam setiap kekuasaan selalu ada perlawanan. Sekecil apapun perlawanan itu. Dan biasanya mereka yang melawan adalah anak-anak muda, sosok yang memiliki gejolak perlawanan tinggi. Terlebih kebanyakan dari anak muda ini dapat disebut sebagai intelektualisme organik jika meminjam istilah Gramsci. Mereka adalah para pemikir yang berjejaring dengan apapun yang dipikirkannya. Maka saat anak muda ini memikirkan revolusi industri dan efek buruknya pada alam, mereka akan melakukan sesuatu untuk menghilangkan efek buruk tersebut. Berorganisasi, bergerak.
Sekelompok anak muda yang berkecimpung dalam bidang seni bergerak dan melakukan langkah perlawanan itu dengan membuat pameran bertajuk Steal If You Dare. Meskipun terlalu naif jika dikatakan pameran ini akan membuat perubahan, dan membuat tobat para industrialis perusak tatanan kehidupan itu. Namun mereka sudah memiliki sebuah itikad baik yang berani: menantang para industrialis, berteriak lantang “kalian bisa mencuri segala bentuk fisik alam kami, tapi kami memiliki sesuatu yang tak bisa kalian curi, yakni semangat dan pemikiran idealisme kami akan bagaimana seharusnya dunia berjalan.”
Manifestasi pemikiran kritis tersebut mengejawantah dalam karya para perupa muda yang hadir dalam pameran ini. Rambat tanjang menggugat kebebalan para industrialis tatkala merusak alam demi produktivitas industri, sementara ATAL berusaha mengajak manusia agar kembali ke jalan hidup yang benar: mengedepankan kembali keberlangsungan hidup ekosistem dan alam. Srawung Tradisi mengingatkan bahwa industrialisasi yang menyebar ke seluruh dunia bagaimanapun akan turut membawa homogenisasi kelayakan, dimana setiap aspek local wisdom atau budaya tradisi tiap Negara harus dihilangkan, diseragamkan dengan tujuan lebih mudah diekpsloitasi industri. Salah satu local wisdom Indonesia yang mulai luntur adalah budaya saling menyapa antar sesama. Menghilang karena diseragamkan pola pikir industri yang individualistik. Sementara itu Rupa-Rupa menyajikan sebuah performing art sebagai refleksi betapa manusia menuruti hawa nafsunya sehingga melupakan alam sekitar. Dan melupakan bahwa hidup membutuhkan kedamaian sejati, kebahagiaan sejati, dan juga keseimbangan dunia seperti dijabarkan 4 Sehat 5 Sempurna.
Dream World menawarkan sebuah perspektif menarik tentang dunia yang indah dan damai itu hanya ada di dalam mimpi, karena di dunia nyata dunia sekitar kita sudah sangat rusak dan hancur. Begitu sulitkah menjadikan dunia ini indah dengan alam yang tetap lestari? Karena untuk mewujudkannya kita harus bermimpi. Tapi kondisi seperti itulah adanya, faktanya negeri ini memang hanya menjadi sebuah toilet yang menampung kotoran-kotoran dari Negara maju (penguasa, pemodal), kita adalah pemimpi yang dijaga agar tetap tertidur dan bermimpi indah dalam sebuah surga konsumsi. Persis dijabarkan SOLART dalam karyanya.
Tapi, sedemikian sulitkah untuk keluar dari belenggu industri ini? Lalu kembali hidup sebagai manusia yang damai hidup berdampingan dengan alam? Apakah kita sudah kalah pada kedigdayaan industri? Ya dan tidak. Ya, kita kalah jika mengacu pada betapa makin kayanya mereka para pemodal, dan betapa miskinnya kita, betapa rusaknya alam kita. Namun tidak, kita belum kalah selama kita memiliki sesuatu yang tak bisa mereka curi. Sesuatu yang akan selalu ada dan dikenang meski tubuh fisik kita renta oleh usia. Sesuatu itu adalah pemikiran, paradigma, idealisme. Sesuatu yang harus kita jaga dan tak boleh mereka curi. Selama pemikiran ini kita jaga, lalu berjejaring dengan pemikiran lain. Lantas ini akan menjadi sebuah benih perlawanan yang lebih besar. Dan tak menutup kemungkinan, entah besok atau suatu hari nanti ini akan mengalahkan kedigdayaan industri tersebut. Menjadikan dunia berjalan seperti seharusnya, saat alam dan manusia bekerjasama demi kehidupan yang damai dan lebih baik.
Yogyakarta, 16 juni 2014.
Aris Setyawan: Mahasiswa tingkat akhir jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan, Ketua KKM Keilmuan Etnomusikologi, penulis lepas di beberapa media, pernah bermain drum di band folk Aurette and The Polska Seeking Carnival, inisiator gerakan peduli anak jalanan Save Street Child Jogja. Penggila baca, pemuja kucing, berharap semoga suatu hari Radiohead konser di Indonesia. Tulisan lainnya dapat dibaca di http://arissetyawanrock.wordpress.com. Dapat dihubungi melalui twitter @arissetyawan atau email [email protected]