Konon kesepian adalah pembunuh paling tokcer. Karena ia membunuh dengan pelan-pelan, ia bikin seseorang merasa sendirian, bosan, capek, lalu mati karena kesendirian dan kesepian itu. Namun, menurut sains, kesepian sebenarnya adalah satu produk evolusi yang ada untuk membuat manusia survive. Dengan merasa kesepian, manusia akan terdorong untuk bergerak, mencari manusia lain, menjalin relasi sosial dan kultural.
Bayangkan jika tak ada kesepian, manusia akan selalu nyaman dengan dirinya sendiri, dan terdiam di gua nyamannya setiap saat. Kenyamanan itu akan bikin manusia enggan menjalin social bond dengan manusia lain. Padahal, tidak dapat dimungkiri, peradaban manusia ini dibangun oleh adanya ikatan sosial antarmanusia tersebut.
Barangkali, atas dasar keyakinan bahwa kesepian adalah produk evolusi inilah, kugiran asal Yogyakarta Airportradio menggubah sebuah album penuh bertajuk Selepas Pendar Nyalang Berbayang. Album yang dirilis pada 2018 silam ini memang telah berusia 2 tahun, namun masih relevan untuk dibicarakan sekarang karena, um, siapa sih yang tidak merasa kesepian di tengah carut marut dunia modern di awal 2020 ini?
Selepas Pendar Nyalang Berbayang adalah manifestasi kesepian yang sesepi-sepinya. Sesunyi-sunyinya. Sembilan lagu yang ada dirancang untuk membuat pendengarnya merasa kesepian yang begitu intens. Namun, alih-alih bikin depresif, semua lagu itu justru jadi sebuah perangkat evolusi yang mengajak pendengarnya untuk tetap bergerak, berjuang, agar survive di tengah kekacauan kesepian dunia modern ini.
Diawali dengan “Alpha Omega”, penempatan lagu ini di posisi pertama bak sila pertama Pancasila yang menempatkan Ketuhanan sebagai pokok dan pondasi. Lagu ini bicara tentang spiritualitas. Tentang Yang Maha Esa yang abadi, dan kita manusia yang fana.
Nomor “Black Pepper” adalah sebuah lagu cinta yang romantis. Tapi jangan dibayangkan akan menye-menye. Romantis a la Airportradio bukan tipikal lagu asmara pop niaga. Tetap saja, ada kesenduan yang begitu brengsek di balutan gesekan cello yang termaktub di situ. Siapa sangka, kisah asmara dan perkara afeksi bisa terdengar sedemikian sendu.
Bagi mereka yang familiar dengan ihwal kesehatan mental, pastinya pernah mendengar satu kondisi ini: bipolar. Sebuah bentuk gangguan mental di mana pengidapnya mengalami dua fase alias episode yang berbeda: kadang depresi, kadang manik. Lagu “The Episodes” menguliti dua sisi episode ini. Bagaimana ketika sedang depressed episode, dan bagaimana ketika sedang manic episode.
Satu nomor yang menyeramkan adalah “Jagal”. Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita telah menganut apa yang disebut sebagai antroposentrisme, sebuah keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang paling tinggi harkat dan martabatnya dari makhluk hidup lain, termasuk binatang. Maka, kita memiliki hak istimewa untuk menjadi omnivora, kemudian menjagal binatang-binatang untuk kita santap dalam perjamuan nan kudus. “Jagal” adalah semacam anthem vegetarianisme yang menguak konsep antroposentrisme tersebut dengan sebuah pertanyaan besar: Apakah kita berhak menjagal binatang demi memenuhi kebutuhan pokok pangan kita?
Bagi mereka yang pernah berkesempatan menonton langsung pertunjukan Airportradio, tentu akan mengamini bahwa band ini adalah band yang sebenarnya sangat menjanjikan. Namun, sayangnya mereka masuk golongan underrated, mungkin karena musik mereka yang terlampau sepi. Jalinan olah vokal yang inaudible dengan berbagai instrumen seperti bass, drum, keyboard, dan cello ini terlalu berasa sepi untuk mereka yang lebih suka mendengarkan musik yang riuh gendombrang-gendombreng.
Bagi saya pribadi, saya tetap dapat memaknai Selepas Pendar Nyalang Berbayang sebagai sebuah instrumen evolutif yang memicu saya untuk tetap semangat berjuang menghadapi hidup yang kadang terlampau menyedihkan karena penuh nelangsa dan nestapa ini. Airportradio berhasil membuat saya memikirkan ulang makna kesepian dan kesunyian. Bagaimana dengan anda? Berani mencoba mendengarkannya?