Ceritanya kemarin saya diajak si nona untuk nonton film VI Movie di TBY. Film yang digaungkan sebagai upaya memperjuangkan kesetaraan gender karena film ini bercerita tentang perempuan, dan dibuat oleh 6 sutradara perempuan. Barangkali ini alasan kenapa film ini diberi judul VI Movie, semacam permainan huruf “VI” bisa berarti “6” yang merupakan representasi 6 sutradara perempuan. Atau jika sedikit lebih dalam “VI” dapat dibaca sebagai “V” atau singkatan dari Vagina. Permainan tanda bahwa film yang dibuat para mahasiswa broadcasting komunikasi UMY ini merupakan film tentang perempuan.
Dalam hal sinematografi, saya tidak akan banyak berkomentar. Karena ini bukan ranah saya, di luar kemampuan saya yang tidak terlalu mengerti teknik sinematografi. Tapi setelah selesai menonton, saya merasa perlu menggarisbawahi beberapa hal yang lebih mengacu pada perspektif atau paradigma yang coba ditawarkan VI Movie.
Perspektif pertama yang perlu disoroti adalah adanya dikotomi hitam-putih yang banyak muncul sepanjang omnibus berdurasi 44 menit ini. Untuk memberikan pesan moral pada penontonnya, VI Movie bisa dibilang terjebak dalam dikotomi hitam-putih. Dengan cara memunculkan sosok hitam sebagai yang buruk, dan sosok putih sebagai yang baik. Dikotomi ini dapat dilihat dalam kisah Bagas dan Senja. Di mana Bagas digambarkan sebagai sosok hitam karena memiliki tindik di telinga, suka meminum beer, dan kemudian berakhir dengan menggagahi Senja sebagai sosok putih berjilbab. Dikotomi hitam-putih ini berbahaya karena menjurus pada stigmatisasi, bahwa semua yang bertindik dan meminum beer itu terstigma sebagai buruk dan jahat. Dikotomi ini juga muncul dalam satu adegan cerita Galih dan Estu saat dimunculkan sosok lelaki bertatoo banyak yang kemudian distigmakan sebagai galak dan menyeramkan. Sangat disayangkan jika untuk membangun moral dalam cerita film harus melakukan stigmatisasi pada orang-orang yang dianggap sebagai “sosok hitam”.
Perspektif kedua yang patut diperhatikan adalah adanya kemandegan dogma. Dogma dapat diartikan sebagai “menerima sesuatu sebagai kebenaran tanpa perlu mempertanyakan apapun mengenai sesuatu itu.” Beberapa kisah dalam VI Movie terjebak dalam kemandegan dogma ini. Misalnya dalam Anisa dan Sholeh, saat si gadis kecil Anisa bermaksud mengikuti lomba adzan, ibunya tidak mengizinkan karena Anisa seorang perempuan. Saat Anisa bertanya kenapa tidak boleh? Sang ibu hanya menjawab “memang kayak gitu, dari dulu tradisinya emang kayak gitu.” Inilah dogma, kondisi di mana kita tidak diperbolehkan mempertanyakan kenapa sesuatu menjadi seperti itu, kita hanya harus menurut pada tradisi yang ada dan turun temurun dilakukan. Tanpa boleh bertanya “kenapa jadi seperti itu?” Sebenarnya ini juga adalah gejala yang terjadi di masyarakat kita, bahwa kebiasaan berpikir kritis jarang dipupuk sejak kecil. Terlihat dari cara Ibu Anisa menghentikan pertanyaan si kecil dengan berkata “Kamu kan masih kecil, jangan berpikir sejauh itu!!!” Setiap pertanyaan kita memang sering dijawab dengan dogma yang tak boleh diganggu gugat.
Galih dan Estu juga terjebak dalam kemandegan dogma ini saat ada percakapan dua orang pria yang membicarakan sebuah hadist mengenai semakin jauh perjalanan menuju masjid, semakin banyak pahala yang didapat. Seorang anak kecil berjilbab yang menguping pembicaraan tersebut bisa jadi menantikan pembahasan yang lebih panjang, sayangnya tidak ada penjelasan lebih panjang mengenai hadist tersebut dan apa alasan jika berjalan jauh ke masjid mendapat pahala lebih banyak. Alih-alih penjelasan berakhir dengan perkataan salah satu lelaki “besok saja aku jelaskan!!!” meninggalkan pembahasan mengenai hadist ini menjadi menggantung, meninggalkan si anak kecil berjilbab menyimpulkan sendiri hal tersebut sebagai dogma yang harus dilakukan tanpa dipertanyakan, sehingga berjalanlah ia keliling kampung demi pahala yang banyak.
Terlepas dari dua perspektif yang cukup membingungkan di atas, omnibus VI Movie ini cukup menarik. Jadi saat saya pulang menembus hujan di Jogja bersama si nona, saya tetap bisa tersenyum. Karena paling tidak film ini berhasil membuat saya berpikir mengenai dua perspektif tersebut. Barangkali hal ini terjadi juga pada penonton lain. Bukankah ini yang lebih penting dalam rangka wacana menyamakan kesetaraan gender yang mereka gaungkan? Kesetaraan gender bukan berarti sekadar bentuk fisik bahwa “kita pengen membuktikan bahwa perempuan juga bisa membuat film.” Yang lebih penting menurut saya adalah upaya kesetaraan gender harus lebih mengutak-atik ranah pemikiran dan ide, sebab pemikiran dan ide yang bagus akan lebih diperhatikan banyak orang, berlipat ganda, dan akhirnya memicu perubahan. Seharusnya ini yang diamini para pembuat VI Movie. Bahwa film mereka akan dikenang bukan sekadar sebentuk film yang dibuat 6 perempuan. Tapi akan dikenang sebagai sebuah film dengan 6 buah pemikiran menarik dari 6 perempuan. Perdebatan mengenai ide akan berlangsung lebih lama dan panjang, sedangkan perbincangan mengenai fisik film paling akan habis setelah beberapa hari. Jadi, mau pilih yang mana?
Yogyakarta, 12 november 2014.