RUU Permusikan dan Pembungkaman Kreativitas Musisi

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underartartikelcriticcultural studiescultureessaymusicmusikseniWriting

Belakangan dunia musik Indonesia sedang digemparkan oleh satu kasus: musikus pop rock mahsyur Ahmad Dhani masuk bui. Pentolan band Dewa 19 dan Republik Cinta Management ini dijerat dengan UU ITE karena terbukti menyebarkan ujaran kebencian di cuitannya di situs microblogging Twitter.

Kontroversi langsung merebak: banyak yang menyayangkan masuknya Dhani ke hotel prodeo karena menganggap UU ITE memiliki pasal karet. Persis kondisi yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama, atau banyak kasus lain, UU ITE dan pasal karetnya yang fleksibel telah memakan banyak korban.

Sekarang, pascamasuknya musikus Ahmad Dhani ke kerangkeng besi, ada satu polemik lagi perihal musik yang merebak: tentang anggota dewan yang tengah menggodok RUU Permusikan.

Meski baru berupa usulan Baleg (badan legislatif), draf RUU Permusikan sudah membuat khawatir sejumlah pihak. Terutama musisi. Beberapa yang sudah melontarkan keberatan adalah vokalis/gitaris band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, vokalis Seringai Arian, Jason Ranti, Danilla Riyadi, dan Hafez Gumai dari Koalisi Seni Indonesia.

Politikus PDIP dan anggota Komisi XI DPR, Maruarar Sirait menyatakan bahwa tujuan dibentuknya RUU Permusikan adalah untuk melindungi hak cipta dan para seniman. Namun, jika lolos menjadi undang-undang, RUU Permusikan akan menjadi setali tiga uang dengan UU ITE: ia memiliki pasal karet yang rawan merenggut banyak korban dan membatasi kreativitas musisi dalam proses pengkaryaan musik.

Multitafsir

Satu klausul yang patut disoroti dalam RUU Permusikan adalah pasal 5 dan pasal 50 yang menyebutkan beberapa larangan bagi para musisi: dari mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif.

Klausul ini karet dan bisa dipelintir sedemikian rupa karena tidak ada tolak ukur yang jelas. Misalnya, kalimat “membawa budaya barat yang negatif”, apa yang dimaksud dengan budaya barat yang negatif? Kalimat ini terkesan bodoh di tengah kondisi dunia yang sudah melebur menjadi satu dalam era kontemporer. Garis demarkasi antara barat dan timur sudah muspra di zaman kontemporer ini. Tidak ada lagi barat dan timur. Dunia telah malih rupa menjadi satu desa global yang terhubung dan memiliki budaya yang saling terkait. Lagipula, bagaimana sesuatu bisa digolongkan negatif? Apa tolak ukurnya?

Kalimat yang patut digarisbawahi berikutnya adalah perkara “menistakan agama”. Setali tiga uang dengan klausul UU ITE yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama, kalimat ini akan menjadi pasal karet yang tidak jelas juntrungannya.

Misalnya, apakah bait “Jika surga dan neraka tak pernah ada, Masihkah kau bersujud kepada-Nya?” dari lagu “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” milik Chrisye dan Ahmad Dhani dapat digolongkan sebagai penistaan agama? Dengan berbekal pasal karet RUU Permusikan, penegak hukum bisa saja memelintir lagu itu dan menafsirkannya sebagai penistaan agama. Padahal, barangkali tafsir yang dibuat sang musisi sungguh berbeda. Sang musisi barangkali sedang menganjurkan pendengarnya untuk berkontemplasi, memikirkan ulang kualitas ibadahnya dan memikirkan ulang hubungannya dengan Sang Pencipta.

Lagi, kalimat “membuat konten pornografi” adalah klausul karet yang mirip dengan UU Pornografi dan Pornoaksi: bagaimana sebuah musik/lirik bisa dikategorikan sebagai konten pornografi? Apa tolak ukurnya? Bisa jadi penegak hukum dan khalayak menafsirkan lagu “Cinta Satu Malam” milik penyanyi funkot Melinda sebagai konten pornografi karena memuat bait “Sentuhanmu membuatku terlena. Aku telah terbuai mesra. Yang ku rasa hangat indahnya cinta. Hasratku kian membara”. Namun, bagaimana penegak hukum bisa tahu apakah bait ini memicu hasrat seksual seorang pendengar? Karena preferensi seksual tiap orang berbeda. Tidak semuanya mengalami pengalaman seksual setelah menyimak lagu ini.

Salah satu klausul yang paling patut diperhatikan adalah perihal “membuat musik provokatif”. Kata ‘provokatif’ secara tidak langsung mengacu pada ihwal sosial dan politik. Saya setuju dengan pernyataan Cholil Mahmud yang menyebut lagu lawas “Bongkar” milik Swami sebagai contoh. Lagu itu rawan dipelintir sebagai musik provokatif karena liriknya yang merupakan ajakan untuk meruntuhkan tiran. Di era sekarang ada begitu banyak musik yang berisi kritisisme akan kondisi negara, tentang ketidakadilan yang terjadi, tentang pihak pemerintah yang tidak becus bekerja mengurus negara, dan lain sebagainya. Ambil contoh lagu “Mosi Tidak Percaya” milik Efek Rumah Kaca. Dengan mudah penegak hukum akan memelintir lagu itu sebagai lagu provokatif. Atau “Mafia Hukum” milik Navicula. Para musisi grunge asal Pulau Dewata itu akan dengan segera terciduk aparat karena lagunya.

Intinya, klausul-klausul dalam RUU Permusikan ini sungguh multitafsir dan akan menjerat banyak korban dari kancah musik nusantara. Yang paling menakutkan, efek dari RUU Permusikan ini akan mengekang kreativitas para musisi.

Mengekang kreativitas musisi

Untuk membedah kenapa RUU Permusikan akan membatasi kreativitas musisi. Kita perlu terlebih dahulu memahami apa itu musik? Musik berawal dari satu faktor penting: bunyi. Bunyi adalah getaran frekuensi yang dihasilkan oleh beberapa sumber tertentu, bunyi ini lalu ditangkap oleh organ pendengaran (gendang telinga), yang kemudian diubah menjadi datum yang diterjemahkan otak sebagai kesan. Di sini lah kita dapat memperoleh definisi musik. Musik adalah sistem tanda yang dibuat manusia untuk menyusun bunyi tersebut, kemudian diterjemahkan sebagai datum yang dimaknai oleh otak.

Sebagai sistem tanda, musik memiliki banyak varian di sepanjang peradaban manusia. Karena masing-masing manusia, suku, bangsa, atau peradaban membuat dan memiliki sistem tanda mereka sendiri. Misalnya, barat memiliki sistem tanda diatonik dengan nada do re mi fa sol la si do, sementara Nusantara (sebut saja Jawa) memiliki laras pentatonik pelog dengan nada ji ro lu mo nem. Kedua sistem tanda itu hanya contoh. Faktanya, ada begitu banyak sistem tanda lain yang dibuat manusia sesuai dengan kreativitas masing-masing. Semuanya dalam rangka memperoleh kesan estetis dari bunyi.

Dari definisi musik tersebut saja kita sudah dapat menyimpulkan bahwa RUU Permusikan akan membatasi kreativitas musisi dalam proses pengkaryaan. Bagaimana tidak? Sepanjang sejarah, musisi menjalankan proses pengkaryaan rumit dengan metodologi masing-masing dalam rangka memperoleh hasil musik yang paling kreatif. Proses kreatif ini menjadikan begitu banyak jenis (genre) musik eksis di dunia: rock, pop, jazz, dangdut, koplo, metal, indie pop, dan lain sebagainya. Musisi harus memiliki hak prerogatif agar dapat bebas menyusun sistem tanda mereka dan menggubah musik yang paling kreatif.

Bayangkan jika proses kreatif itu dibatasi oleh klausul-klausul karet RUU Permusikan. Tidak akan ada lagi the next Iwan Fals yang getol mengaransemen musik folk yang memprotes ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ucapkan selamat tinggal pada regenerasi grup hip-hop legendaris Homicide yang selalu bernas memprotes kondisi sosial politik negara. Atau, di kancah dangdut, para biduan akan berpikir dua kali sebelum manggung dengan dandanan khasnya dan lirik lagu tentang gundah gulana percintaan karena takut dijerat dengan klausul “pornografi dan pornoaksi”.

RUU Permusikan ini mengingatkan kita pada zaman di kala Soekarno memegang tampuk kekuasaan. Kala itu, Soekarno melontarkan salah satu kebijakan yang paling termahsyur karena kekuatannya yang mengikat: tidak boleh ada musik ngak ngik ngok a la barat, karena musik itu imperialis dan mengikis semangat nasionalisme. Buntutnya, semua musik—yang menurut pihak kuasa—berbau kebarat-baratan dilarang. Bahkan grup yang saat itu tengah moncer, Koes Bersaudara harus masuk bui karena dianggap mirip The Beatles. Lalu terjadi penyeragaman musik yang boleh beredar di khalayak adalah musik kegemaran Paduka Jang Moelia Soekarno: irama lenso.

Selain kebijakan anti ngak ngik ngok era Bung Karno, pengekangan kreativitas musisi juga terjadi di zaman orde baru. Sebagai contoh kita dapat menilik bagaimana rezim Soeharto pernah melarang beredarnya musik dangdut a la Rhoma Irama karena disinyalir mengandung bibit subversif melawan kekuasaan negara. Atau bagaimana Harmoko pernah melarang musik-musik yang digubah Betharia Sonata atau Pance Pondaag karena menurutnya musik itu cengeng dan merusak semangat pembangunanisme orde baru.

Jika mewujud menjadi Undang-Undang, tidak dapat dimungkiri RUU Permusikan akan menjadi penyeragaman musik yang sama. RUU Permusikan adalah gabungan dari pengekangan kreativitas dua zaman: orde lama dan orde baru. Pertama, para musisi akan berpikir ulang sebelum menggubah karya secara bebas. Mereka akan melakukan swasensor dan berusaha patuh pada pakem yang tercantum dalam UU Permusikan agar tidak terkena masalah hukum dan dipidanakan. Kedua, para pendengar akan dirugikan karena tidak lagi memiliki banyak pilihan jenis musik untuk didengarkan.

Kekonyolan sertifikasi musisi

Satu lagi klausul RUU Permusikan yang konyol dan bodoh adalah pada pasal 32 di mana musisi harus memperoleh sertifikasi oleh negara agar dapat diakui kompetensi dan kapabilitasnya sebagai musisi. Pasal ini sudah cacat sejak dalam pikiran. Kenapa? Karena pasal ini jelas mengerdilkan musik cuma sebatas sebagai sebuah produk, dan musisi adalah pekerja yang harus memproduksi musik tersebut agar dapat dijual. Dengan pola pikir ini, wajar jika penyusun draf RUU Permusikan menganggap musisi adalah sebuah profesi dan harus disertifikasi agar ada patokan kualitas.

Klausul ini cacat pikir karena ini: apa tolak ukur sertifikasi musisi? Pasalnya, musisi bukanlah sebuah profesi saklek misalnya seperti dokter atau pengacara yang parameter kinerjanya jelas. Setiap musisi memiliki sistem kerja, metodologi, estetika, dan bahkan sikap politik yang berbeda. Bagaimana cara mensertifikasi dan menstandarkan musik perlawanan a la Marjinal dengan musik pop niaga a la D’Masiv?

Terlepas dari sisi industri yang menjadikan musik sebagai sebuah produk niaga, musik memiliki posisi yang lebih dari itu. Musik adalah bagian dari hidup masyarakat, pengejawantahan sosio-kultural manusia pemiliknya. Dan musisi adalah bagian dari masyarakat luas tersebut. Proses sertifikasi musisi hanya akan melahirkan musisi yang patuh pada aturan agar bisa jualan di industri. Menyingkirkan musisi yang sebenarnya sangat bertalenta namun enggan berkompromi pada proses sertifikasi.

Dalam tradisi Jawa kuno dikenal sebuah laku yang disebut tapa pepe. Di zaman kerajaan, jika seorang rakyat jelata bermaksud menyampaikan uneg-uneg kepada raja, mereka tidak punya akses untuk langsung bertatap muka dan beropini kepada sang raja. Mereka hanya punya satu pilihan: siang dan malam duduk dalam posisi bertapa di halaman Keraton, sembari berharap cemas sang raja mengetahui aksinya tersebut lalu menyuruh sang rakyat jelata masuk Keraton, baru sang rakyat bisa menyampaikan kegundahan hatinya.

Tradisi tapa pepe masih mewujud di zaman modern Indonesia ini: Aksi Kamisan telah berjalan selama lebih kurang 12 tahun. Para penggiatnya dengan tabah bertahan saban kamis di depan Istana Negara, menuntut Pemerintah melakukan penegakan hukum dan mengusut pelanggaran berat HAM dan persoalan kemanusiaan lainnya yang disinyalir dilakukan oleh negara. Celakanya, rezim yang berkuasa sekarang rupanya setali tiga uang dengan watak raja zaman feodalisme. Mereka tidak mengacuhkan Aksi Kamisan, dan hingga sekarang tidak ada kejelasan tentang bagaimana mengusut kasus pelanggaran HAM tersebut.

Musik, meski tidak serta-merta mampu menjadi agen perubahan yang menuntaskan berbagai problematika bangsa, rupanya memiliki porsi cukup penting: ia bisa menjadi media, pembawa pesan, yang akan menggetok batok kepala pendengarnya agar tersadar bahwa ada yang tidak baik-baik saja dengan kondisi sosial politik negara. Musik adalah opsi lain untuk menyebarkan wacana tentang hak warga negara memprotes berbagai masalah kenegaraan. Terkait Aksi Kamisan misalnya, lagu Efek Rumah Kaca menjadi media penyampai pesan yang apik dengan bait “yang hilang menjadi katalis di setiap kamis…”, pesan ini mengingatkan pendengarnya untuk sadar bahwa kekerasan HAM masih terjadi dan Aksi Kamisan tetap tabah menuntut diusutnya kekerasan itu.

Terlepas dari sikap politiknya yang memuakkan dan oportunis, tidak dapat dimungkiri Ahmad Dhani adalah sosok musikus yang jenius dan ia memiliki posisi sentral dalam kancah musik nusantara. Maka, sangat disayangkan jika ia masuk bui karena terjerat pasal karet UU ITE. Dari kasus ini, kita dapat belajar satu hal terkait RUU Permusikan yang sedang digodok: jika RUU Permusikan tidak diawasi dan dikawal dengan benar, akan banyak kasus-kasus pidana lain menimpa musisi, akan ada pembatasan dan penyeragaman selera musik terjadi. Dan yang paling penting, tidak akan ada lagi musisi berani menggubah musik yang memprotes kebijakan negara yang salah kaprah. Artinya, tidak ada opsi lain untuk bercakap dengan pemegang rezim, dan mau tidak mau setiap warga negara hanya bisa melakukan tapa pepe jika ingin menggugat pemerintah.

Kita tentu tak mau ini terjadi. Maka, selain musisi, segenap warga negara ada baiknya turut serta mengawal jalannya penggodokan RUU Permusikan. Agar alih-alih membatasi kreativitas musik, ia benar-benar berjalan sesuai khitahnya yang dipaparkan anggota dewan: untuk melindungi hak cipta dan seniman. Pasal-pasal karet dalam RUU Permusikan yang tengah digodok komisi X DPR harus dirombak total. Atau, jika tidak memungkinkan dirombak total, RUU Permusikan ini lebih baik dibatalkan saja.

Tulisan ini adalah versi asli panjang yang belum disunting, versi pendek yang telah disunting editor pernah dimuat di Beritagar pada 2 Februari 2019.

Tiga pasal (5, 50, 32) dari draft RUU Permusikan yang saya gunakan sebagai acuan untuk tulisan ini saya peroleh dari Tirto.id.

Update: Tulisan ini dibuat saat polemik RUU Permusikan baru merebak. Saat itu saya masih memandang ada opsi bahwa RUU Permusikan bisa diperbaiki, maka saya menyatakan RUU Permusikan harus dikawal agar pasal-pasalnya bisa diperbaiki. Namun, setelah mengikuti perkembangan penggodokan RUU ini, serta membaca Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan rekomendasi yang disusun Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, saya menyimpulkan bahwa merombak/memperbaiki draft RUU ini adalah kesia-siaan. Maka, RUU PERMUSIKAN HARUS DITOLAK, bukan direvisi.

Update: Kesimpulan nomor 3 Rapat Baleg dengan Kemenkumham tentang evaluasi Prolegnas RUU Prioritas 2019 yang diadakan pada Senin, 17 Juni 2019 pukul 17.00 WIB menyimpulkan bahwa RUU Permusikan ditarik dari Prolegnas RUU Prioritas 2019 dan Prolegnas 2015 – 2019. Artinya, RUU PERMUSIKAN RESMI DIBATALKAN.

Foto Dokumen: Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan.

TaggedindonesiaMusicpolitikruu permusikansosial


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan