Pias: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya adalah buku pertama karya Aris Setyawan. Bunga rampai ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Aris yang berceceran di berbagai media. Baik di media cetak (koran, majalah, zine), maupun di media elektronik (webzine, media daring, blog pribadi). Tulisan-tulisan tersebut ditulis dalam kurun waktu 2010 hingga 2016.
Puluhan tulisan dalam PIAS tidak spesifik menyasar satu topik atau disiplin ilmu tertentu. Di satu tulisan Aris membahas sejarah penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik. Di tulisan lain Aris mengulas film atau buku tertentu. Ada juga tulisannya yang mengupas fenomena sosial seperti eksistensi ruang karaoke hingga ruang kos, serta bagaimana angkringan telah menjadi sebuah tempat perdebatan wacana. Di dalam ranah seni rupa, Aris juga sempat menulis beberapa kritik dan pengantar pameran. Pias adalah wujud dari kegelisahan Aris akan banyak fenomena di dunia.
Bahasan esai-esai Aris bertebaran dari topik seni secara luas, ada juga musik, seni rupa, film, sastra, ulasan buku, hingga sekadar curahan hati Aris saat mengetahui fenomena sosial tertentu di sekitar lingkungan tempat tinggalnya di Yogyakarta.
Itulah kenapa buku ini bertajuk Pias. Di dalam KBBI, Pias diartikan sebagai diagram untuk memperlihatkan atau menerangkan sesuatu. Maka buku Pias ini adalah semacam diagram yang dibuat oleh Aris untuk memancing para pembacanya mempertanyakan berbagai isu dan fenomena sosial budaya yang terjadi di sekitar kita. Atau, versi lebih gaulnya menurut Lelaki Budiman selaku editor dari penerbit Tan Kinira, Pias adalah singkatan dari Percikan Ide Aris Setyawan.
Buku dengan ketebalan lebih kurang sekitar 300 halaman ini diterbitkan oleh penerbit independen Tan Kinira, bekerjasama dengan penerbit independen Warning Books.
Pias: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya mendapatkan respon yang positif oleh khalayak dan kritikus. Musikolog dari lembaga kajian musik Art Music Today, Erie Setiawan menyatakan “Anda akan menemukan banyak sekali percabangan pemikiran di buku ini, seperti susunan syaraf yang kompleks. Aris berusaha melihat fenomena seni, musik, budaya, film, dan lain-lain yang melintasi kesehariannya, dan ia telah membantu kita untuk “peka diri” pada tingkatan rohani sekaligus rasional.”
Sementara itu, redaktur situs Serunai.co, Ferdhi Putra menyebut Pias “menjadi bacaan ringan sekaligus berat karena menawarkan wacana-wacana kritis tentang banyak hal. Ya, banyak hal; seni budaya yang tidak terbatas pada musik, seni rupa, sastra, film, dlsb., tetapi juga merambah ke soalan yang mungkin agak sulit disangkutpautkan dengan “seni dan budaya”. Soal makanan dan pekerjaan, misalnya. Pias melengkapi deretan panjang buku kumpulan esei seni dan kebudayaan yang diterbitkan beberapa tahun belakangan.
Beberapa musikus dan tokoh musik juga memberikan respon positif akan buku ini. Rapper Herry Sutresna atau yang lebih dikenal sebagai Ucok Homicide menyatakan “Kumpulan tulisan Aris di bukunya ini adalah testimoninya terhadap banyak hal yang dapat membuat yang lainnya juga berpikir ulang soal pentingnya tulisan remeh temeh pengalaman personal dan irisannya dengan musik dan budaya populer pada umumnya.”
Sementara itu Cholil Mahmud, gitaris/vokalis Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi menyatakan “Aris, Potensial dan menjanjikan. Bisa jadi, kita tidak terlalu sepakat dengan pendapatnya. Namun, dari situ, kita bisa memulai perdebatan untuk mempertajam dan mencari jalan keluarnya jika diperlukan. Saya tidak akan heran jika pada masa depan, tulisannya, pertanyaannya, dan gugatannya terhadap suatu fenomena akan seliweran di media sosial maupun media cetak.” Co-founder Jakartabeat.net, pendiri Elevation Records/Elevation Books, dan penulis musik, Taufiq Rahman menyatakan “Aris adalah suara hati nurani musik independen Indonesia. Sebagai editor di Jakartabeat, saya memiliki posisi menguntungkan untuk melihat proses pematangan dia sebagai penulis yang pada akhirnya bisa menemukan suaranya sendiri. Dari awal, Aris punya kegelisahan—yang tumbuh dari kecintaannya terhadap musik—dan ini kemudian menjadi benang merah di semua tulisannya, apakah musik memiliki fungsi dan relevansi diluar dimensi esoteris yang hanya mengutuknya menjadi klangenan belaka. Kumpulan tulisan di buku ini adalah buah dari kegelisahan itu, tentang apakah musik berguna bagi manusia dan kemanusiaan.”