“Kapan mulih le?”
Pesan singkat dari ibu masuk ke kotak masuk telepon genggam saat saya tengah berada di keramaian. Singkat. Namun, tiga kata itu bermakna begitu dalam, mampu melontarkan saya dalam lamunan saat itu juga. Keramaian di sekitar mendadak menjadi sunyi. Atau meminjam lirik pop niaga bintang pop cum calon bupati Bekasi, di dalam keramaian aku masih merasa sepi. Bahkan kedalaman makna pesan singkat kiriman ibu bikin saya masih merenungkannya seminggu kemudian.
Sepintas, ibu hanya bertanya “kapan pulang nak?”. Namun, pesan itu berarti lebih. Tiga kata itu adalah ungkapan kangen berat seorang ibu pada anak laki-lakinya. Anak yang kurang ajar barangkali, karena jarak Yogyakarta-Karanganyar sangat dekat, dapat ditempuh naik motor kurang lebih 2,5 jam. Atau jika malas bermotor karena harus bermanuver menghindari lubang-lubang menganga di jalan raya Klaten, bisa naik kereta Prameks bertiket 8 ribu lalu naik bus jurusan Tawangmangu. Tapi, si anak laki-laki kurang ajar ini memang jarang sekali pulang ke kampung.
Tiga kata dalam pesan singkat itu juga menyelipkan kecemasan dan keraguan seorang ibu: apa sih yang kamu lakukan di Jogja nak? Apa yang kamu lakukan untuk hidupmu? Usiamu tak lagi belia.
Ibu mengirim pesan singkat melalui ponsel Nokia butut. Beliau enggan menggunakan ponsel pintar karena kesulitan mengetik melalui layar sentuh. Meski daya Nokia bututnya sering ngedrop karena usia baterai yang sudah uzur, beliau masih setia menggunakannya. Menurut ibu, saat mengetik harus ada bunyi ‘klik-klik-klik’ dan persentuhan kulit jari dengan tombol. Yang terakhir tak dapat beliau temukan di layar sentuh.
Lain lagi bapak. Beliau sudah beberapa bulan ini menggunakan ponsel pintar produksi negeri ginseng. Bapak kini menggunakan whatsapp, rajin mengunggah status di laman facebook. Bapak lebih sering menghubungi melalui whatsapp.
**
SMS dari ibu melontarkan saya pada lamunan retrospektif: kenapa saya jadi manusia model begini?
Ibu dan bapak lahir dari keluarga petani turun-temurun. Itulah hidup mereka sekarang. Pertanian sayur-mayur adalah apa yang mereka geluti sejak kecil hingga sekarang.
Barangkali, bagi ibu dan bapak tak pernah ada jargon “menanam adalah melawan”. Karena desa kami di lereng Lawu tak pernah merasakan konflik pertanahan yang sering terjadi—dan belakangan makin sering terjadi—di beberapa wilayah nusantara. Setidaknya hingga sekarang. Nggak tahu juga kalau cepat atau lambat akan ada konflik juga, mengingat kita ada di sebuah negara yang sering menyerobot hak hidup orang banyak demi kata kunci ‘pembangunanisme.’
Bagi ibu dan bapak, menanam adalah pekerjaan yang memang harus dilakukan, bukan upaya perlawanan. Menjadi petani adalah pekerjaan turun-temurun yang diwariskan kakek-nenek. Itulah yang mereka lakukan terus menerus. Meminjam falsafah Jepang, ibu dan bapak tengah mempraktikkan laku shokunin, sebuah tindakan melakukan sesuatu secara rutin, terus-menerus, tanpa adanya ambisi menjadi istimewa atau menjadi lebih besar dari orang lain.
Kembali ke pertanyaan di atas: kenapa saya tak mengikuti jejak mereka menjadi petani?
Bagi ibu, bidang yang saya geluti tentu saja asing. Musik dalam pemahaman ibu adalah Ratih Purwasih, Betaria Sonata, dan Haddad Alwi Feat Sulis yang beliau mainkan di pemutar kaset pita butut merek Polytron. Gulungan seluloid yang beliau tebus di masa lampau saat saya masih di bangku sekolah dasar. Masih diputarnya hingga sekarang. Tak kenal ibu dengan layanan musik daring Spotify.
Buku dalam kamus ibu adalah kitab suci, dan buku-buku agama yang beliau dapat dari majelis pengajian. Tak kenal ibu dengan segala diktat teori, catatan wacana, atau tetek bengek rigid seni dan budaya yang saya baca atau tulis ulang.
Pesan singkat tiga kata dari ibu melontarkan saya ke ingatan bahwa dua tahunan yang lalu ibu pernah berujar “le, kowe kan wis lulus kuliah, ibu ki njuk bingung yen ditakoni tetangga, kowe ki kerjane opo toh le saiki?” (nak, kamu kan sudah lulus kuliah, ibu tuh bingung kalau ditanya tetangga, kamu tuh pekerjaannya apa sih sekarang nak?)
Pesan singkat ibu memang sakti. Saya gundah gulana dibuatnya. Mempertanyakan ulang apa-apa yang saya lakukan sepanjang hayat yang hampir kepala tiga. Jangan-jangan segala apa yang saya percaya ternyata sekadar bayangan utopis? Bahwa ternyata kesenian dan kepenulisan yang saya lakukan begitu berjarak dengan realita di masyarakat. Bahkan, ibu dan bapak pun tak pernah benar-benar mengerti apa yang saya lakukan, dan secara berkala mempertanyakan “apa yang kamu lakukan untuk hidupmu nak?”
Saya jarang pulang kampung karena mulai malas harus menjelaskan lagi dan lagi, betapa saya mencintai pengetahuan, bahwa saya masih ingin membaca, melihat, mendengar, merasa, kemudian mencipta lebih banyak karya. Saya malas harus menjawab cecaran pertanyaan “kapan menikah?” “kapan bekerja di kantor?”
Ah, tapi itu bukan salah ibu dan bapak. Kalau dipikirkan lebih dalam, saya yang salah. Evaluasinya adalah, berarti saya harus mencari cara agar apa yang saya lakukan lebih mudah dipahami ibu dan bapak. Saya harus mampu menjabarkan gagasan bla bla bla estetika musik atonal a la Schoenberg atau estetika partisipatoris kolektif hip-hop Homicide kepada ibu yang saban hari mendendangkan “Gelas-Gelas Kaca” atau bapak yang menyanyikan “Kolam Susu” sembari membersihkan cangkul yang kotor.
Pesan singkat ibu semacam ramalan. Beliau tak pernah mendengar anak laki-lakinya curhat perkara nominal. Namun, ibu semacam pembaca pikiran yang mengerti benar bahwa pilihan hidup anaknya menjadi penikmat pengetahuan, telah menjadikan si anak hidup dalam keterbatasan di kota gudeg. Agaknya ibu mengerti, anaknya sering masygul saat honor menulis yang tak seberapa tak kunjung cair. Maka, ibu menyuruh pulang agar bisa ngepuk-puk si anak. Atau membekali sekarung beras dan sayur panenan sendiri untuk dibawa ke Jogja.
**
Ibu dan bapak tidak mengenal hari sabtu dan minggu seperti para pekerja kantoran. Barangkali sekarang bapak sedang menggenggam kokoh cangkulnya, atau menggendong alat semprot merk Swan dan menyemprot tanaman cabai agar bebas hama. Sementara ibu mengenakan caping untuk melindungi diri dari sengatan panas matahari, menyiangi rumput teki nakal yang nyempil di sela-sela daun bawang dan tomat.
Sabtu bukanlah weekend bagi mereka. Minggu—atau ahad dalam bahasa mereka—adalah hari yang sama, bergulir silih berganti. Hari untuk meneteskan peluh merawat tanaman di ladang, mengunduh hasilnya kala panen, lalu menjualnya di pasar Karangpandan.
Sabtu bukanlah saat traveling. Minggu dalam kamus bapak dan ibu adalah ahad nan bersahaja. Pagi setelah subuh, sebelum bercocok tanam mereka akan bertandang ke masjid desa seberang, hadir ke majelis pengajian dan menghayati kefanaan manusia di tengah keluasan semesta.
Di mata saya, ibu dan bapak adalah manusia juara. Wujud nyata petuah “nrimo ing pangdum” dan keikhlasan menjalani kehidupan, baik dan buruknya.
Sementara saya, anak laki-lakinya terkadang masih suka masygul dan gulana saat didera cobaan segelintir. Masih suka nelangsa atas jalan hidup yang saya pilih sendiri.
Duh, semoga saya bisa terus belajar pada kalian ya ibu dan bapak. Semoga ibu dan bapak sehat selalu.
“Insya Allah, kulo mantuk akhir bulan nggeh bu”
Balasan pesan singkat saya kepada ibu. Janji pulang ke rumah yang belum bisa saya tepati.
Yogyakarta, 19 November 2016.