Penghancuran Peradaban

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underTak Berkategori

Penghancuran situs Nimrud di kota kuno Assyria Irak oleh kelompok ISIS mendapat kecaman dunia. UNESCO menyebut aksi tersebut sebagai ‘kejahatan perang’. Aksi ISIS patut dikecam karena dengan alat berat ISIS meratakan Nimrud, sebuah warisan kebudayaan yang dibangun pada abad ke 13.

Beberapa waktu sebelumnya ISIS juga menghancurkan peninggalan kuno di kota Mosul Irak dan membakar 10.000 buku dan lebih dari 700 manuskrip langka di perpustakaan umum Mosul.

Belakangan ini ISIS memang tengah menjadi sorotan dunia karena aksinya yang penuh kekerasan, berbagai pembunuhan, penculikan, pengeboman. Aksi mereka melukai kemanusiaan. Motif mereka jelas: mendirikan sebuah negara agamis berdaulat versi mereka. Perang terbuka dengan pembunuhan manusia atau penyerangan negara lain yang tidak sepaham dengan mereka adalah salah satu kejahatan kemanusiaan yang patut dicemaskan.

Selain itu, aksi ISIS menghancurkan artefak kuno dan membakar buku dan sumber pengetahuan lainnya patut kita cemaskan juga. Karena dengan demikian ISIS sedang melakukan penghancuran peradaban.

Biblioklas

            Dalam bukunya Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa (2013) Fernando Baez menjabarkan apa yang disebut dengan biblioklas. Yakni sebuah kaum yang fanatis terhadap faham atau agama tertentu, kaum yang cenderung bercokol di sebuah lembaga yang sedang berkuasa, kaum yang kemudian menggunakan kekuasaannya tersebut untuk mengancurkan apapun yang tidak sepaham dengan mereka.

Masih dalam buku yang sama, Baez menyatakan bahwa sepanjang sejarah manusia kaum biblioklas bertanggung-jawab memusnahkan begitu banyak pengetahuan yang tidak sepaham dengan mereka. Sejak jaman kuno Sumeria hingga jaman modern seperti sekarang. Penghancuran tersebut dilakukan dengan merusak artefak atau membakar buku.

Kenapa kaum biblioklas membakar buku dan menghancurkan artefak peradaban? Meminjam penjabaran Susan Blackmore (1999), ide atau gagasan (atau meme, dibaca mim) adalah faktor penting yang berjalan beriringan dengan bentuk fisik (gen) manusia. Buku, artefak kuno, manuskrip adalah media menyimpan ide atau gagasan manusia.

Inilah kenapa ISIS merasa selain menyerang bentuk fisik manusia dan sistem politik (negara) tempat bernaungnya, mereka perlu menghancurkan artefak dan buku. Karena di situ bersemayam saripati ide, gagasan, dan pengetahuan manusia. Pengetahuan yang mereka anggap tidak sama dengan apa yang mereka yakini.

Penghancuran pengetahuan ini mengkhawatirkan, karena peradaban manusia dibangun dengan belajar dari rekaman pengetahuan peninggalan masa sebelumnya. Jika librisida (penghancuran pengetahuan) yang dilakukan para kaum biblioklas dibiarkan, dikhawatirkan generasi masa datang tidak akan punya semacam buku manual untuk menjalankan atau menelurkan ide dan gagasan peradaban yang baru.

Di Indonesia aksi kaum biblioklas bukanlah hal yang baru. Sejak jaman orde baru pemberangusan ide dan pengetahuan yang tidak sesuai dengan pemahaman kaum biblioklas (dalam hal ini rezim yang berkuasa) sudah jaman terjadi. Ini dapat disimak dalam kasus bagaimana pemerintahan orba melarang dan membakar buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer.

Atau yang paling baru, simak bagaimana kaum biblioklas melarang pemutaran film Senyap di Malang, Yogyakarta, dan beberapa kota lainnya. Pelarangan ini karena mereka menganggap film karya Joshua Oppenheimer tersebut menyematkan ideologi yang tidak dapat diterima oleh bangsa Indonesia.

Apapun bentuknya, penghancuran artefak kuno, pembakaran buku, pembreidelan, pelarangan pemutaran film. Aksi biblioklas seperti ISIS atau para pelaku pelarangan di Indonesia tidak dapat dibiarkan. Karena ini adalah upaya perlahan menghancurkan peradaban. Serta mematikan tradisi berdialektika atau berperang ide secara sehat.

Dialektika

Dalam pemahaman filsuf Hegel, peradaban dan kebudayaan manusia dibangun melalui dialektika. Saat sebuah ide (tesis) dinegasikan oleh ide lainnya (antitesis), kemudian gabungan dari keduanya akan melahirkan ide baru (sintesis). Proses ini terjadi berulang-kali, hasil proses tersebut adalah kebudayaan atau peradaban yang kita jalani.

Proses dialektika dalam membangun peradaban inilah yang harus dilakukan. Jika kita tidak setuju dengan sebuah ide atau pengetahuan, kita harus membalasnya dengan ide lain, gagasan lain, agar hasil keduanya melahirkan sebuah pemahaman baru. Jika kita tidak setuju dengan isi sebuah buku, yang harus kita lakukan adalah menulis buku lain untuk menegasikan ide dalam buku tersebut. Bukan membakarnya.

Seharusnya ISIS—dan kaum biblioklas lain—mengamini proses dialektika ini, kemudian menggunakan cara yang lebih baik untuk mengutarakan ide dan gagasannya mengenai seperti apa dunia seharusnya dibangun.

Aksi ISIS dan kaum biblioklas harus dihentikan. Jika kejahatan librisida atau penghancuran pengetahuan dan peradaban ini dibiarkan terjadi, kita tidak akan mampu mewariskan pengetahuan sebagai modal/bekal generasi mendatang membangun tatanan peradaban yang lebih baik. Alih-alih kita hanya akan mewariskan puing-puing kehancuran peradaban dan kebebalan paradigma biblioklas yang egois dan antikritik.

Ideas are bulletproof. Ide itu anti peluru dan tidak dapat dimatikan. Sekali ia lahir, maka akan abadi, menyebar ke manusia lain. Maka keyakinan yang dianut ISIS juga merupakan ide yang tidak dapat dimatikan dengan peluru dan senjata. Melarang keyakinan mereka juga tidak dapat dibenarkan. Aksi memblokir situs-situs pemikiran mereka juga tidak dapat dibenarkan.

Cara menghentikan ide ISIS menyebar adalah dengan menawarkan ide dan pemikiran lain yang lebih masuk akal. Argumen yang tidak didasarkan pada sesat logika a la ISIS. Agar tawaran ide tersebut menjadi pertimbangan bagi ISIS bahwa pemahaman mereka melenceng.

Jika cara menghentikan ISIS adalah dengan peluru atau pemblokiran seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia yang kalap seperti sekarang. Apa bedanya kita dengan ISIS? Sama-sama menghancurkan peradaban dengan cara yang tidak indah.

TaggedbiblioklasbudayaBukuideologiilmuinternasionalisiskritikpengetahuanpolitik


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan