Panjang Umur Pembangkangan

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underTak Berkategori

IMG_7430

Saya ingat saat pertama kali ke Kulon Progo beberapa tahun yang lalu, tepatnya ke Karangwuni. Betapa saya kagum dengan semangat pembangkangan (baca: perlawanan) para masyarakat akar rumput kepada penguasa lalim (baca: negara, kerajaan Ngayogyokarto dan korporasi). Mereka adalah para petani yang jengah dan marah pada penguasa yang mencoba merebut hidup sejahtera mereka, menyerobot lahan pertanian di lahan pantai, dengan iming-iming surga bahwa ada kandungan pasir besi di bawahnya harus ditambang demi kesejahteraan bersama. Kesejahteraan itu adalah mitos, bualan penguasa demi kepentingan mereka dan kroninya.
Saya kagum pada petani Tukijo yang dengan gagah berani memperjuangkan haknya, sampai harus menginap di hotel prodeo karena dikriminalisasi pihak kuasa. Saya kagum pada mas Widodo, petani muda yang dengan hebatnya menulis jargon perlawanan hebat “Menanam Adalah Melawan.” Menegaskan semangat pembangkangan pada kelaliman kapital.

Beberapa hari yang lalu saya kembali ke Kulonprogo, menghadiri perayaan ulang tahun Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo (PPLP-KP) yang ke 9 di desa Bugel. Kekaguman saya masih sama, saya masih kagum pada semangat perlawanan mereka. Setelah 9 tahun melawan, semangat mereka tidak kendor sedikitpun. Malah semakin menggebu-gebu. Di atas mimbar perayaan, salah seorang orator dengan gahar mengutuk keras aparat yang mengkriminalisasi para petani pendemo, padahal saat itu ada banyak sekali aparat berjaga-jaga. Dengan lantang ia menuduh sultan Jogja makar pada negara Indonesia karena sultan menyatakan tidak ada tanah negara di Jogja, yang ada adalah Sultan ground.
Selain kagum pada semangat perlawanan petani, saya juga kagum dan patut menyampaikan hormat saya pada para kaum intelektual yang juga hadir di perayaan ulang tahun PPLP-KP kemarin. Para musisi seperti Dendang Kampungan dan Sisir Tanah, para seniman seperti Peter Gentur atau rekan-rekan Taring Padi, para intelektual muda dari FKMA, LBH, para penulis, jurnalis, siapapun yang menggunakan kelebihan akal budinya untuk membela masyarakat Kulonprogo. Mereka yang menyadari betul kelebihan akal budinya sebagai kaum intelektual harus digunakan untuk membela masyarakat, bukan untuk membela kepentingan kuasa seperti yang terjadi di Rembang, Porong, dan Kulonprogo sendiri.
Meminjam istilah Foucault, setiap ada kekuasaan akan ada perlawanan yang mengiringinya. Maka perlawanan ini harus terus dilanjutkan. Semoga saudara-saudara petani di Kulonprogo selalu diberi kesehatan, agar terus semangat melanjutkan kredo mas Widodo ‘menanam adalah melawan. Selamat ulang tahun yang ke 9 PPLP-KP. Seperti kata mas street artist beken Andrew ‘Anti-Tank’ Lumban Gaol, panjang umur pembangkangan!!!
Yogyakarta, 02 April 2015.

Foto oleh Widi Ayuningtyas.

IMG_7431 IMG_7432 IMG_7433 IMG_7443 IMG_7448 IMG_7451 IMG_7454 IMG_7455 IMG_7459 IMG_7464 IMG_7469 IMG_7470 IMG_7472 IMG_7474 IMG_7477 IMG_7481 IMG_7489 IMG_7490 IMG_7500 IMG_7503 IMG_7507 IMG_7512 IMG_7513 IMG_7514 IMG_7516 IMG_7518 IMG_7532 IMG_7547 IMG_7552 IMG_7556 IMG_7558 IMG_7559 IMG_7560 IMG_7562 IMG_7565 IMG_7566

Taggedindonesiakritikkulonprogopolitiksosialyogyakarta


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan