Saya ingat saat pertama kali ke Kulon Progo beberapa tahun yang lalu, tepatnya ke Karangwuni. Betapa saya kagum dengan semangat pembangkangan (baca: perlawanan) para masyarakat akar rumput kepada penguasa lalim (baca: negara, kerajaan Ngayogyokarto dan korporasi). Mereka adalah para petani yang jengah dan marah pada penguasa yang mencoba merebut hidup sejahtera mereka, menyerobot lahan pertanian di lahan pantai, dengan iming-iming surga bahwa ada kandungan pasir besi di bawahnya harus ditambang demi kesejahteraan bersama. Kesejahteraan itu adalah mitos, bualan penguasa demi kepentingan mereka dan kroninya.
Saya kagum pada petani Tukijo yang dengan gagah berani memperjuangkan haknya, sampai harus menginap di hotel prodeo karena dikriminalisasi pihak kuasa. Saya kagum pada mas Widodo, petani muda yang dengan hebatnya menulis jargon perlawanan hebat “Menanam Adalah Melawan.” Menegaskan semangat pembangkangan pada kelaliman kapital.
Beberapa hari yang lalu saya kembali ke Kulonprogo, menghadiri perayaan ulang tahun Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo (PPLP-KP) yang ke 9 di desa Bugel. Kekaguman saya masih sama, saya masih kagum pada semangat perlawanan mereka. Setelah 9 tahun melawan, semangat mereka tidak kendor sedikitpun. Malah semakin menggebu-gebu. Di atas mimbar perayaan, salah seorang orator dengan gahar mengutuk keras aparat yang mengkriminalisasi para petani pendemo, padahal saat itu ada banyak sekali aparat berjaga-jaga. Dengan lantang ia menuduh sultan Jogja makar pada negara Indonesia karena sultan menyatakan tidak ada tanah negara di Jogja, yang ada adalah Sultan ground.
Selain kagum pada semangat perlawanan petani, saya juga kagum dan patut menyampaikan hormat saya pada para kaum intelektual yang juga hadir di perayaan ulang tahun PPLP-KP kemarin. Para musisi seperti Dendang Kampungan dan Sisir Tanah, para seniman seperti Peter Gentur atau rekan-rekan Taring Padi, para intelektual muda dari FKMA, LBH, para penulis, jurnalis, siapapun yang menggunakan kelebihan akal budinya untuk membela masyarakat Kulonprogo. Mereka yang menyadari betul kelebihan akal budinya sebagai kaum intelektual harus digunakan untuk membela masyarakat, bukan untuk membela kepentingan kuasa seperti yang terjadi di Rembang, Porong, dan Kulonprogo sendiri.
Meminjam istilah Foucault, setiap ada kekuasaan akan ada perlawanan yang mengiringinya. Maka perlawanan ini harus terus dilanjutkan. Semoga saudara-saudara petani di Kulonprogo selalu diberi kesehatan, agar terus semangat melanjutkan kredo mas Widodo ‘menanam adalah melawan. Selamat ulang tahun yang ke 9 PPLP-KP. Seperti kata mas street artist beken Andrew ‘Anti-Tank’ Lumban Gaol, panjang umur pembangkangan!!!
Yogyakarta, 02 April 2015.
Foto oleh Widi Ayuningtyas.