Miss Americana: Taylor Swift dan Lika-Liku Kehidupannya

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underartcriticmusicmusikreview

Beberapa dari kita tentu sebenarnya tidak terlalu mengikuti diskografi Miss. Taylor. Kita tidak terlalu suka dengan musiknya, kita tidak mendengarkan karya-karyanya. Namun, tidak dapat dimungkiri Taylor Swift adalah salah satu artis pop terbesar dekade ini. Maka, membicarakan Taylor dirasa perlu karena influence-nya yang sangat besar di ranah musik pop (niaga).

Siapa sih yang tidak mengenal Taylor Swift? Meski anda tidak pernah mendengarkan musiknya, setidaknya anda pasti pernah melihat sekali dua kali namanya muncul di linimasa twitter anda. Atau, salah satu atau dua lagunya pasti pernah nyempil di senarai musik Spotify yang anda dengarkan. Walau barangkali lagu itu anda skip, yang jelas ia ada. Eksis di sana.

Enter the Miss Americana, sebuah biopik yang ada di layanan alir film OTT Netflix. Miss Americana adalah sebuah film berdurasi 1 jam 26 menit, disutradarai oleh Lana Wilson. Film ini menggambarkan sejarah karir bermusik Taylor Swift.

Sebagaimana ujar seorang penulis di New Yorker, Swift dikenal karena keahliannya dalam penciptaan persona, jadi akan masuk akal untuk berharap bahwa “Miss Americana” mungkin terasa seperti hagiografi dalam jubah kuasi-konfesionalisme. Sikap itu, bagaimanapun, sekarang adalah mode default di media sosial, di mana selebriti paling pintar mencari cara untuk secara artistik menggambarkan diri mereka sebagai pahlawan yang tidak disengaja.

Tapi “Miss Americana” adalah potret yang menarik dan bijaksana dari seorang seniman yang memperhitungkan apa yang dia mampu, dan, yang lebih menarik, apa yang budaya akan terima darinya. “Ketika saya mencapai usia tiga puluh, saya, seperti, saya ingin bekerja sangat keras sementara masyarakat masih menoleransi saya menjadi sukses,” kata Swift.

Taylor Swift memang sosok yang mengerti benar bagaimana mencitrakan persona di media sosial. Taylor Swift adalah seorang entertainer sejati. Dalam penampilannya di NPR Music Tiny Desk Concert, terlihat benar bagaimana ia paham bahwa ia adalah seorang pop-star, ia dipuja oleh orang, setiap orang menantikan dan mengamati benar bagaimana kisah hidupnya. Maka, Swift bertindak sebagai seorang bintang pop raksasa. Dari caranya bernyanyi dan memainkan gitar bolong, bahkan sampai gestur muka dan caranya bicara benar-benar menampilkan persona kemahsyuran budaya pop.

Kembali ke Film Miss Americana, di situ dijabarkan sejarah perkembangan karir Swift. Tampak footage-footage penampilan musik Swift, mulai sejak ia masih berusia belia, tampak bahwa Taylor sudah bernyanyi dan menampilkan lagu ciptaannya sendiri bahkan sejak ia masih berusia kurang dari 10 tahun.

Singkat cerita, kemudian Swift mulai memperoleh ketenaran saat ia menjadi satu-satunya penyanyi perempuan yang bikin album dan memainkan musik country. Ya, country. Sebelum dikenal dengan musik pop-niaga di era sekarang, Taylor memainkan musik country khas daratan Paman Sam.

Singkat cerita lagi, Taylor tiba-tiba banting setir dari musik country ke musik pop. Dan ini membawanya makin moncer, melambung tinggi ke titik kemahsyuran yang tak terbayangkan sebelumnya.

Ketenaran itu digambarkan di adegan ketika Taylor memperoleh penghargaan di Video Music Awards (VMA). Siapa sangka si artis pendatang baru ini bisa berdiri di panggung VMA dan menerima penghargaan besar. Dan, siapa sangka akan muncul kontroversi yang barangkali menjadi sebuah kejadian paling mengagetkan dan memalukan dalam sejarah awards-awards-an di industri musik barat.

Beberapa saat setelah Taylor menyampaikan pidato kemenangannya, Kanye West tiba-tiba naik panggung. Semua orang mungkin mengira West akan memberikan pujian pada Taylor. Namun, ternyata tidak. Alih-Alih Kanye West nge-diss Taylor dengan bilang bahwa Taylor Swift tidak pantas mendapatkan penghargaan itu. Menurut West, Beyonce punya video klip yang lebih baik dan lebih berhak mendapatkan penghargaan.

Semua orang tampak kebingungan setelah West melontarkan pernyataan itu. Termasuk Beyonce sendiri yang disorot kamera dan tampak menampilkan ekspresi muka nnngggg, seolah berujar “Lu ngapain sih West?”

Taylor Swift sendiri? Mukanya berubah pias, ia bingung, barangkali marah dan jengah.

Skandal ini menjadi berita besar di masanya. Dan berita tentang Taylor Swift memang tidak pernah berhenti. Taylor Swift adalah media darling. Miss Americana juga menampilkan berbagai footage tentang apa yang dikatakan media tentang Swift. Salah satu berita kegemaran media adalah ihwal kisah asmara sang bintang. Terlihat sebuah adegan di mana Taylor dan kekasihnya sedang dikejar-kejar paparazzi.

Salah satu persona Swift yang menarik dan diceritakan di film yang sebelum nangkring di Netflix ini pernah diputar di Sundance adalah bagaimana ia mencitrakan keyakinan dan gerakan politikalnya.

Mengingat bahwa film ini menggambarkan bagaimana secara bertahap, dan kadang-kadang dengan enggan, Swift mulai menempatkan dirinya dalam pelayanan sebagai komentator sosial, “Miss Americana” adalah potret kelahiran seorang aktivis.

Keprihatinannya adalah yang pasti Anda dengar di tempat lain: Seberapa tulus minat baru Swift terhadap komentar politik? Atau dia tiba-tiba terjun secara vokal bicara ihwal L.G.B.T.Q. melalui advokasi di video musik yang penuh warna dan over-the-top? Apa yang mencegahnya berbicara sebelumnya?

Gerakan politikal Taylor Swift mengingatkan pada Awkarin yang di masa riuhnya demo pro-demokrasi oleh mahasiswa dan lapisan masyarakat di Indonesia kemarin tiba-tiba mencitrakan dirinya sebagai seorang aktivis. Awkarin tiba-tiba turut serta turun ke jalan, memberikan makanan kepada para pedemo, dan secara simultan rajin mengunggah kegiatan aktivismenya dan berbagai komentar politisnya di jagad maya.

Setali tiga uang dengan pernyataan yang dilontarkan pada Taylor Swift, kala itu banyak warga net yang menanyakan motif aktivisme Awkarin: Apa yang mencegahnya berbicara sebelumnya? Atau “Kamu ke mana aja kemarin?”

Walau sebenarnya pertanyaan semacam itu bisa dijawab dengan pernyataan “lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.” Maka, baik Awkarin maupun Swift yang barangkali di masa lampau sungguh apolitis, dan tiba-tiba malih rupa mencitrakan dirinya sebagai sosok bintang dengan political movement ya sah-sah saja.

The Dark Side of The Swift. Biopik ini juga menggambarkan sisi gelap kehidupan Taylor Swift. Dengan sesenggukan mewek, Swift menjabarkan bahwa “di situ terkadang saya merasa sedih” saat membahas bagaimana ia dan personanya selalu menjadi bulan-bulanan media massa. Bagaimana nama Taylor Swift selalu menjadi bahan troll kegemaran para warga net yang kerap berujar “She’s a liar” atau umpatan dengan banyak F Word.

Digambarkan bagaimana sebagai seorang bintang pop, Swift harus menjaga penampilan fisiknya. Sampai perkara lingkar perut yang membesar pun ia perhatikan benar-benar: lingkar itu harus dikecilkan. Menjaga imej fisik a la Swift jadi mengingatkan tokoh yang diperankan Julia Roberts dalam film Notting Hill yang berujar bahwa untuk menjaga imej visualnya sebagai bintang film tenar, ia harus kelaparan sejak remaja karena harus diet sepanjang waktu. Di sini kita bisa bayangkan barangkali Swift mengalami kelaparan yang sama: diet demi menjaga imej.

Tampak juga sisi gelap lain di mana adegan itu terjadi di dalam kabin sebuah jet—yang sepertinya adalah jet pribadi milik Taylor—di mana Ibu dari Taylor Swift menceritakan bahwa dirinya mengidap kanker. Tampak Taylor meng-pukpukpuk si Ibu. Moral of the story: Taylor Swift bisa menjadi sangat tajir, namun yang namanya penyakit dan force majeur lainnya adalah sebuah keniscayaan, maka ketajiran Swift sekalipun tidak berdaya di hadapan sebuah kenyataan bahwa ibunya mengidap kanker.

***

Sayangnya di sepanjang film tidak digambarkan kontroversi-kontroversi yang Swift buat sepanjang karir bermusiknya. Wajar, biopik ini tentu tak ingin membeberkan apa-apa hal buruk yang Swift buat lah. Namanya juga perpanjangan tangan promosi, film ini menjadi sarana public relation untuk makin memahsyurkan sang bintang.

Nyatanya, ada begitu banyak kontroversi yang Taylor Swift buat di sepanjang karir bermusiknya. Terutama kontroversi ini muncul saat menyentuh hal ini: uang.

Dua contoh terbesar kontroversi yang ia buat, pertama, adalah saat Taylor Swift dengan lantang mengkritik streaming services seperti Spotify dan Apple Music. Menurut Swift, streaming services berlaku tidak adil dalam hal royalti musik karena raksasa musik alir ini menggratiskan karya dalam sesi trial untuk pengguna mereka.

Kelihatannya sungguh mulia, Taylor sedang membela hak-hak artis, produser, sound engineer, musisi sesi, dan semua pendukung ekosistem musik yang seharusnya mendapat nominal dari musik yang berada di layanan musik alir. Dalam rangka protes, Taylor kemudian menurunkan semua diskografinya dari digital stores.

Namun, sesungguhnya semua ini bukanlah perkara kritisisme terhadap layanan musik alir dan pembelaan terhadap hak-hak para pelaku ekosistem musik. Semua ini hanyalah perkara mendongkrak harga/nilai dari karya-karya Swift. Begitu terjadi sebuah kesepakatan bahwa Taylor Swift akan mendapatkan uang yang lebih besar, seluruh diskografinya kembali ke seluruh layanan musik alir. Setali tiga uang dengan Thom Yorke yang sebelumnya mencabut, kemudian mengunggah ulang semua karyanya.

Kedua, kontroversi yang masih terkait dengan kasus karya Swift di layanan musik alir di atas. Swift pernah dikritik keras karena perkara kontrak ketat yang manajemennya terapkan pada para fotografer yang mengambil foto Swift di konser.

Aturan yang terkandung dalam kontrak yang harus ditandatangani oleh jurnalis termasuk melarang foto digunakan lebih dari satu kali tanpa persetujuan, dan memberikan manajemen Swift hak untuk mendistribusikan kembali gambar. Satu kontrak juga termasuk hak bagi perwakilan Swift untuk menyita peralatan dan menghancurkan gambar jika fotografer melanggar salah satu syarat.

Kontrak baru ini menjelaskan bahwa fotografer dapat menggunakan kembali foto dan mengatakan perwakilan Swift akan dengan jelas memberi kredit kepada fotografer jika gambar dipublikasikan di media sosial. Ini juga menghilangkan saran untuk menghancurkan gambar, dan secara eksplisit menyatakan bahwa kontrak “TIDAK mengalihkan hak cipta dari Anda, fotografer atau publikasi”.

Awal dari masalah ini adalah saat seorang fotografer Britania Raya, Jason Sheldon menulis di blognya pernyataan berikut:

“Anda mengatakan dalam surat Anda bahwa tiga bulan adalah waktu yang lama untuk tidak dibayar. Tapi Anda tampaknya senang membatasi kami [fotografer] untuk dibayar sekali, dan tidak pernah bisa mendapatkan dari pekerjaan kami lagi, sambil memberi Anda hak untuk mengeksploitasi pekerjaan kami untuk keuntungan Anda untuk selamanya. Apa bedanya Anda dengan Apple? “

Maksud dari perdebatan itu jelas: Swift protes besar karena karyanya tidak dibayar oleh Apple Music saat seorang pengguna mendengarkan Apple Music dalam masa trial selama tiga bulan. Namun, di sisi lain Taylor Swift dan manajemennya menerapkan kontrak tidak adil terkait foto-foto konsernya yang dilarang digunakan lebih dari satu kali oleh fotografer yang menjepretnya. Buntutnya, sang fotografer Jason Sheldon—dan juga National Press Photographers Association menuding Taylor Swift dan manajemennya sebagai munafik.

Itu hanya dua dari banyak kontroversi yang melingkupi karir bermusik Taylor Swift. Dan semua itu tidak dijabarkan di Miss Americana.

Terlepas dari perkara kontroversi yang tidak dimunculkan, film ini masih sangat layak tonton. Menonton sepak terjang karir bermusik Taylor Swift adalah bak memahami dan mempelajari bagaimana industri musik pop dunia berjalan. Bagaimana industri milyaran dollar ini berkembang dengan berbagai cara: baik dan buruk, wangi dan busuk. Semuanya adalah dalam rangka pengumpulan surplus profit yang bikin label dan artisnya menjadi sangat kaya raya.

Dan kita harus berterima kasih kepada Taylor Swift, karena berkat biopik kisah hidupnya itu kita jadi tahu dan lebih paham bahwa sebenci-bencinya kita pada musisi dan musik pop, kita tak akan bisa menghindari eksistensinya. Buktinya, sebenci apapun anda dengan Taylor Swift dan musik pop, toh anda tetap nyasar membaca tulisan ini dan jadi tahu kan kalau ada seorang bintang pop termahsyur bernama Taylor Swift.

TaggedMiss AmericanaMusik PopNetflixpopTaylor Swift


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan