Merangkul Mereka yang Kesepian

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underWriting

Screenshot from 2017-04-26 21-22-14
“Uraikan simpul kacaunya!!!… Maka sudahilah sedihmu yang belum sudah!!!”
(FSTVLST – Menantang Rasi Bintang)

Saya jarang menonton film Korea, atau serial televisi Korea yang digandrungi beberapa teman. Tetapi, ketika saya menonton Castaway on the Moon (2009) karya sutradara Hae-jun Lee untuk pertama kalinya, saya langsung suka dengan film ini. Bahkan saya berulang kali menontonnya hingga mungkin kelima kalinya.

Premis film ini—tampak—sederhana. Kim (diperankan Jae-yeong Jeong) adalah seorang laki-laki putus asa yang memutuskan mengakhiri hidup dengan melompat dari sebuah jembatan. Ternyata lompatan dari atas jembatan ke Sungai Han tidak mengantarnya ke kematian. Alih-alih, arus mendamparkannya ke sebuah pulau kecil di tengah sungai. Singkat cerita, Kim memutuskan untuk menetap di pulau tersebut, bertahan hidup. Upaya survival Kim ternyata ditonton oleh seorang perempuan yang tinggal di apartemen bertingkat. Nama perempuan itu sama, Kim (diperankan Rye-won Jung). Ia punya hobi mengamati sekeliling dengan teleskop.

Suatu ketika, sebuah kebetulan—atau takdir—menggiring teleskop Kim nyasar memergoki Kim sedang berada di pulau. Jadilah ini jalinan cerita yang berjalan sepanjang film berdurasi lebih kurang dua jam tersebut: bagaimana Kim perempuan yang tinggal di apartemen bertingkat mengawasi Kim laki-laki yang tinggal di pulau kecil tengah sungai.

Dalam amatan dan pemahaman saya, di tengah premis yang—tampak—sederhana, alur yang mudah ditebak, serta penampakan visual yang sangat-sangat tipikal film Korea (i), Castaway on the Moon (selanjutnya disebut COTM) menjabarkan sesuatu yang lebih rumit dan tidak bisa dipandang sederhana: kelindan karut marut antara modernitas dan manusia yang hidup pada zaman tersebut.

Menjadi manusia yang hidup di zaman modern adalah sebuah tantangan yang berat, bikin capek, terasing, dan kebingungan. COTM menggambarkan bagaimana keterasingan dan alienasi yang harus dihadapi manusia yang hidup pada zaman modern. Zaman saat keberlangsungan sirkulasi modal adalah panglima, saat percepatan di segala bidang adalah sebuah kebenaran absolut. Pada suatu titik jenuh, seorang manusia akan mulai mempertanyakan alasan hakiki: what’s the purpose? It’s seems pointless. Apa lagi tujuan hidup di tengah keterasingan ini?

Dalam konteks Korea Selatan, negara yang konon sedang digadang-gadang sebagai the rise of new economic power dengan pertumbuhan ekonomi yang kian pesat, perusahaan-perusahaan multinasional yang menggurita ke pasar global (ii), hingga serbuan produk kultural yang tak terbendung bikin seorang gadis berjilbab di pojok Nganjuk memuja putihnya artis Korea (iii), tentu harus ada yang dikorbankan. Kim laki-laki adalah salah satu korbannya.

Saya paham benar ketakutan yang tengah dihadapi Kim. Pria di usia 30an, menatap nanar pada nasibnya di masa depan. Kim terbelit hutang dengan bunga besar, kehilangan pekerjaan karena perusahaan lamanya bangkrut, ditolak mentah-mentah saat melamar pekerjaan baru dengan alasan dirinya sudah terlalu tua dan kompetensinya kalah jauh dari para pelamar muda (score TOEIC Kim sangat rendah). Ia juga baru saja putus cinta dengan seorang perempuan. Lengkap sudah. Kim berada di titik nadir pemikiran: apa guna hidup di tengah semua nestapa ini? Ia jelas terseok-seok berusaha mengikuti ritme percepatan modernitas yang menggenjot pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Ritme yang bikin semua orang harus bergerak cepat, cepat, dan cepat, mengabaikan segala yang tidak ada hubungannya dengan perkara pertumbuhan ini.
Screenshot from 2017-06-17 07-50-44
Pengabaian ini dapat terlihat di adegan awal film saat Kim memutuskan melompat dari jembatan. Tampak begitu banyak mobil seliweran di jalan. Agak janggal jika di antara ramainya arus lalu lintas, tidak ada seorang pengendara pun yang melihat seorang laki-laki tengah berdiri di pinggir jembatan, dan berpikir bahwa laki-laki itu berjas, jelas bukan petugas perawatan perbaikan jembatan, maka, ia pasti mau bunuh diri, maka aku harus berhenti dan menolongnya.

Atau, inilah buah modernitas. Pengabaian adalah sebuah kewajaran. Menolong seorang laki-laki yang tak dikenal dari upaya bunuh diri tentu mengganggu arus lalu lintas, memaksa banyak kendaraan berhenti. Tidak bisa tidak. Roda harus terus berputar, sirkulasi modal harus terus berjalan. Maka, biarkan laki-laki itu menjadi sebuah angka di tengah statistik tingginya jumlah kematian karena bunuh diri di Korea Selatan. (iv)

Lain lagi Kim perempuan. Ia memutuskan tinggal di dalam kamarnya 24 jam sehari 7 hari seminggu tanpa keluar ke mana pun. Bagi Kim, kamar itu adalah benteng terakhirnya. Ia cantik, setidaknya dengan penilaian a la gelombang hallyu seperti yang saya sebutkan tadi. Namun, ia sangat tidak percaya dengan dirinya sendiri, ia kehilangan jatidiri. Maka, ia memutuskan hidup di dunia virtual: sosial media. Hari-hari Kim adalah memoles halaman sosial medianya menjadi rupawan: mengunggah foto orang lain yang menurutnya lebih cantik dan mendakunya sebagai diri sendiri, ia juga rajin update foto barang-barang belanjaan yang fancy dengan teks penjelasan seperti “sepatu baru, beli di Mall. Bagus nggak?”

Bagi Kim perempuan, inilah interaksi sosial yang nyata: bagaimana komentar, jumlah jempol, dan berapa banyak tiap postingan—palsu—nya dibagikan. Ia pada akhirnya memutuskan meninggalkan interaksi yang sebenarnya di dunia nyata. Mengunci rapat pintu kamar, menghayati keterasingan di kamar gelap dengan pendar layar 14 inci sebagai jendela. Pertanyaannya: lalu apa itu dunia nyata? Mana yang sebenarnya lebih nyata bagi Kim perempuan? Kamar gelapnya? Atau dunia tanpa batasnya di internet?
Screenshot from 2017-06-17 07-39-41
Setelah gagal mengakhiri hidup dan terdampar di pulau tengah sungai. Kim memutuskan untuk tinggal menetap di sana. Mulailah ia belajar survival. Bayangkan film Castaway (2000) karya sutradara Robert Zemeckis saat Chuck Noland (diperankan Tom Hanks) terdampar di sebuah pulau dan harus belajar bertahan hidup. Kim mengalami hal yang sama. Bedanya, Chuck Noland terdampar di pulau tengah samudera, sementara Kim di pulau tengah sungai di pusat kota, di mana jembatan jalan bebas hambatan merintang di atasnya dan salah satu tiang penyangganya berdiri kokoh di atas tanah.

Kim belajar berburu ikan, burung, dan bercocok tanam. Tiba-tiba ia menemukan sebuah pencerahan: ternyata hidup di wilderness ini lebih penuh kepastian daripada harus berjibaku dengan ketidakpastian di luar pulau: ketidakpastian bagaimana nasibnya di pekerjaan, ketidakpastian bagaimana cara membayar hutang dan bunganya, ketidakpastian bagaimana hubungan asmara. Di luar pulau, modernitas menjadikan Kim kehilangan tujuan hidup, rutinitas percepatan jadikan ia terasing, tersingkir di kejamnya persaingan pencarian kerja. Di dalam pulau, ia menemukan kembali satu tujuan hidup, satu alasan kenapa ia harus hidup: ia ingin mencicipi rasa mie kedelai hitam khas Korea. Sebuah makanan yang sejak kecil selalu ditolaknya, dan ketika terdampar di pulau ini tiba-tiba menjadi makanan yang wajib disantap sebelum ajal mendekat.

Maka, mulailah ia mencari cara agar bisa membuat mie. Ia mengumpulkan kotoran burung karena tahu burung makan biji, pasti ada sisa biji jagung tertinggal di kotoran. Ditanamlah kotoran itu, dan ajaib, ternyata tumbuhlah jagung. Singkat cerita, dengan bekal jagung yang telah dipanen, Kim berhasil membuat sebuah mie. Lantas, ia menyantapnya dengan perasaan meletup-letup, diiringi tangis dan sesenggukan yang entah dipicu bahagia atau sedih tak terpermanai: kesadaran bahwa tujuan hidupnya telah tercapai, ia telah mencicipi mie. Lalu apa berikutnya?
Screenshot from 2017-06-17 07-54-18
Di dalam kamar gelapnya, Kim perempuan menjadi satu-satunya saksi bagaimana prosesi panjang Kim laki-laki agar dapat mencecap rasa mie. Kedua manusia yang sama-sama terasing di tengah zaman modern ini akhirnya berkenalan. Setelah memergoki eksistensi Kim laki-laki di pulau, Kim perempuan memberanikan diri untuk keluar kamar—meski ia benar-benar menyusun strategi agar tidak berpapasan dengan orang lain, ia juga mengenakan helm berkaca gelap—berlari menuju jembatan dan melemparkan sebuah botol berisi surat. Kim laki-laki setelah membaca isi surat, akan membalas dengan cara menulis pesan di atas tanah pinggir pulau.

Pada akhirnya kita bisa merefleksikan hubungan pertemanan aneh dua Kim dalam film COTM, kaitannya dengan keterasingan manusia Korea di zaman modern, serta bagaimana kondisi yang sama terjadi di seluruh negara dunia, termasuk Indonesia. Tentu ada banyak Kim lain di sekitar kita. Mereka yang dirundung kesepian dan kehilangan tujuan hidup. Mereka yang akhirnya memutuskan mengakhiri hidup dan menyiarkannya langsung di facebook (v). Yang lebih penting kemudian adalah: di tengah segala keterasingan yang dipicu modernitas ini, menjadi lebih peka dan peduli pada manusia di sekitar kita adalah satu-satunya alasan yang menjadikan kemanusiaan tetap ada.

Sudahkah kita melihat dan peduli kepada manusia di sekitar kita? Apa yang terjadi dengannya, kenapa status media sosialnya saban hari menggambarkan teriakan sunyi minta tolong. Sudahkah kita peduli pada manusia-manusia malang yang menjadi korban percepatan dan sirkulasi modal? Atau, kita memang telah menjadi setali tiga uang dengan para pengendara mobil yang mengabaikan aksi bunuh diri Kim. Alih-alih menolong, kita lebih suka menertawakan tindakan laki-laki yang mengakhiri hidup di facebook sebagai tindakan bodoh dan pengecut. Sama seperti saat kita menertawakan dan mengolok-olok seorang perempuan yang bugil di tempat umum tanpa mau peduli dan peka bahwa perempuan tersebut bugil di jalan karena mengalami delusi yang dipicu adiksi benzodiazepine (vi).

Sudahkah kita berpikir bahwa mereka yang didera depresi dan menyendiri (persis seperti yang Kim laki-laki lakukan di pulau, dan Kim perempuan di kamar gelap) bukanlah karena mereka adalah attention seeker yang lebay. Mereka adalah seseorang yang kebingungan karena elan vitalnya muspra, tujuan hidupnya lenyap digelayuti sebuah hantu klinis bernama depresi. Maka, alih-alih merundung, menghakimi, menyalahkan mereka sebagai “manusia aneh yang tidak bisa bersyukur dan lebay”, seharusnya kita merangkul mereka, we should take care of them, mengajak mereka bersama-sama mendendangkan lagu “Menantang Rasi Bintang” oleh Festivalist, dengan ajakan “Uraikan simpul kacaunya!!!… Maka sudahilah sedihmu yang belum sudah!!!”.

Di penghujung film, Kim laki-laki yang sudah menghayati jalan hidup barunya di pulau, akhirnya harus dijemput paksa untuk minggat dari sana. Sebagai pulau yang menjadi tanah bercokolnya tiang jalan tol, ternyata secara berkala ada petugas yang singgah untuk mengecek kondisi atau melakukan perbaikan. Saat para petugas menemukan Kim, mereka mengusir Kim dan berkata “tanah ini adalah properti milik negara, kamu nggak boleh tinggal di sini.”

Oh Kim yang malang. Di luar pulau menjadi korban yang tak mampu mengikuti roda perputaran modal, ketika memutuskan hidup di kesunyian wilderness pun ternyata harus tunduk pada negara, serta aparatusnya yang menyaru dalam bentuk para petugas. Ternyata wilderness itu pun semu. Tidak nyata.

Lagi-lagi, Kim perempuan menjadi satu-satunya saksi melalui teleskop, ia marah ketika melihat Kim laki-laki dikejar, diseret, ditarik paksa ke perahu lalu dibawa ke tengah kota. Maka, Kim perempuan memutuskan meninggalkan kamar. Tanpa helm, ia berlari mencari Kim laki-laki.

Di tengah kota, Kim laki-laki yang dilepaskan petugas memutuskan bahwa toh ia telah kehilangan hidupnya yang nyaman di wilderness pulau. Maka, ia memutuskan untuk menuju gedung pencakar langit, lalu melompat dari lantai 63. Kim naik bus, menuju gedung tersebut. Saat di dalam bus itulah Kim perempuan berhasil menemukan Kim laki-laki. Akhirnya, mereka berkenalan, bertatap muka, dan bercakap dalam sebentuk perbincangan yang sebenar-benarnya. Di titik itulah Kim laki-laki kembali menemukan elan vital, semangat hidup, dan Kim perempuan menemukan kembali apa itu interaksi yang sebenarnya dengan manusia di dunia nyata, di luar dunia virtual.

Aneh, janggal. Kedua manusia yang sama-sama kesepian, mengidap depresi, dan menjadi korban zaman modern, saling menolong dan menguatkan: life worth living. Pertanyaan terakhir yang muncul: di mana manusia-manusia lain di sekitar mereka berdua? Mereka yang katanya ‘normal’, tapi begitu abai pada kemanusiaan dan apa yang terjadi dengan manusia lain. Barangkali tidak perlu muluk-muluk peduli pada seluruh orang yang sesungguhnya tidak dikenal personal, tapi orang terdekat yang telah kita kenal begitu lama. Sudahkah kita berusaha mengerti dan peduli apa yang terjadi padanya? Coba. Mari kita tilik dan perhatikan orang dekat yang kita kenal lama, apa yang terjadi padanya. Lalu, putuskan: apakah kita akan meninggalkannya dan menghakiminya? Atau, kita akan merangkulnya, membantunya.

Di tengah kekacauan dunia modern, merangkul mereka yang kesepian adalah sebuah tindakan revolusioner.

Yogyakarta, 17 Juni 2017.

Catatan Akhir:

(i) Walau saya jarang menonton film buatan Korea dan kesulitan juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan penampakan tipikal film Korea. Namun, barangkali yang saya maksud adalah bagaimana gelombang Hallyu alias Korean Wave terlihat jelas sebagai sebuah bentuk pemujaan pada kesempurnaan penampakan visual manusia rupawan. Hal yang mana memunculkan industri besar operasi plastik di Korea Selatan. Walau tidak bisa kemudian serta-merta disalahkan karena adanya perkara kebudayaan Korea Selatan yang memang mengganggap yang wajib dari hidup adalah sempurna. Maka, penampakan tipikal film Korea yang saya maksud barangkali adalah bagaimana film-film—atau serial televisi—buatan Korea Selatan sering menampakkan imaji visual kesempurnaan tersebut (cantik, ganteng, dunia yang indah).

(ii) https://www.forbes.com/sites/peterpham/2015/09/09/south-korea-the-seoul-of-the-worlds-economy/#545d530142c0 dan http://english.hani.co.kr/arti/english_edition/e_business/757139.html

(iii) Lihat Ariel Heryanto, Identitas & Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015, Kepustakaan Populer Gramedia).

(iv) http://www.aljazeera.com/programmes/peopleandpower/2015/08/south-korea-suicide-nation-150827070904874.html dan http://www.bbc.com/news/magazine-34710403

(v) http://m.liputan6.com/news/read/2890628/pria-bunuh-diri-live-di-facebook-sering-keluhkan-hidupnya

(vi) https://m.detik.com/news/berita/d-3521562/vm-yang-nyaris-bugil-saat-belanja-positif-pakai-obat-penenang

Taggedalienasibunuh diriCastaway on the moondepresifilmkapitalismekesepiankorea selatanmodernitas


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan