(Tulisan pengantar untuk konser jazz “Sambung Rasa” A. Ragipta Utama di IFI-LIP Yogyakarta, Jum’at 15 Januari 2016)
Setali tiga uang dengan pembicaraan mengenai keberagaman dalam agama, rupanya juga bercokol dengan kuat sebuah kanker ganas yang menggerogoti pondasi dan bangunan keberagaman dalam musik: fundamentalisme. Paradigma pemujaan terhadap keyakinan diri sendiri ini berbahaya karena menumbuhkan sikap ekslusif dalam diri, bikin cupet pikiran, enggan menerima keyakinan lain yang terlihat berbeda.
Di dalam tataran musik, fundamentalisme ini dapat dilihat dari seringnya terjadi pengkotakan genre musik. Musisi yang berkarya di genre A menganggap itulah kebenaran absolut nan ekslusif, sedangkan genre B haram untuk dijamah karena menurut pikiran cupetnya perbedaan adalah semacam ancaman. Fundamentalisme ini yang lantas memunculkan oposisi biner atau dikotomi dalam musik: tradisi vs modern, high art vs pop art, major music vs indie music, musik barat vs musik timur, dan seterusnya.
A. Ragipta Utama alias Gipta adalah musisi muda yang belajar, tumbuh dan berkembang di tengah pusaran perdebatan dikotomis tersebut. Setidaknya di institusi pendidikan tinggi seni tempat Gipta bernaung, sering dijumpai para musisi yang beranggapan genre musiknya ekslusif serta enggan mengeksplorasi secara lebih luas musiknya tersebut. Sementara kehidupan musik di gedung sebelahnya terlampau sibuk mengutuk musuh imajiner bernama ‘globalisasi’ dan ‘modernitas’ yang dianggap ancaman bagi musik tradisi nan adiluhung.
Kedua sikap ekslusif di atas justru menyebabkan musik yang sebenarnya keren bagaikan katak dalam tempurung: dikungkung kerangkeng ekslusifitas, dimainkan di kandang sendiri, ditonton dan diapresiasi kalangan sendiri. Gipta, untungnya bisa menjebol kerangkeng eklusifitas tersebut. Konser bertajuk ‘Sambung Rasa’ ini adalah salah satu cara Gipta menghancurkan dikotomi dalam musik, merayakan keberagaman dalam musik.
Jauh sebelum embrio Sambung Rasa muncul, Gipta telah memulai proses eksplorasi musikalnya yang beragam. Setelah sering wara-wiri di berbagai pertunjukan musik jazz—misalnya menjajal panggung Ngayogjazz di tahun 2013 dan 2014—tiba-tiba Gipta sering muncul di panggung non-jazz bersama kolektif musik folk Sisir Tanah. Bagi mereka yang mengenal atau sempat menonton permainan jazz Gipta, tentu ini mengejutkan. Musik folk yang dimainkan Sisir Tanah dibangun dengan kesederhanaan akor gitar bolong dan kekuatan lirik subtil, sedangkan jazz fusion yang biasa dimainkan Gipta jelas mengedepankan teknik instrumental yang tinggi dengan progresi akor rumit.
Inilah salah satu contoh bagaimana Gipta menjebol kerangkeng ekslusifitas musik. Di era modern jazz sering dimaknai sebagai musik ekslusif. Musik yang harusnya suci dari perkara strata kelas sosial tiba-tiba harus dikotak-kotakkan sesuai kebutuhan. Jazz menjadi musiknya kelas tinggi. Gipta mementahkan pernyataan itu, menggali kembali akar jazz yang pada awalnya justru berawal dari semangat perlawanan kaum budak kulit hitam. Gipta kemudian memetik nada-nada di gitarnya, melengkapi musik dan lirik Sisir Tanah yang banyak membicarakan narasi perlawanan dan kehidupan masyarakat akar rumput.
Sambung Rasa kemudian dapat dimaknai sebagai laku eksplorasi Gipta di level berikutnya. Sebagai seorang manusia Indonesia, Gipta menyadari bahwa di luar jazz yang selama ini digeluti dan mengalir di nadinya ada musik atau bentuk kesenian yang kokoh menancap menjadi akar di dirinya sebagai seorang anak suku Jawa: karawitan. Gipta sampai pada titik nadir saat menyadari jazz yang ia mainkan selama beberapa tahun terasa mengasingkannya dari akar karawitan.
Kegelisahan Gipta ini menjadi raison d’etre konser Sambung Rasa: membongkar kerangkeng pengkotakan genre musik, memusnahkan dikotomi musik entah itu tradisi vs modern atau barat vs timur, menggali akar njawani dalam diri, merayakan keberagaman musik. Dengan gagah berani Gipta mewujudkan ikhtiarnya dalam bentuk delapan repertoar musik yang ditampilkan di Sambung Rasa.
Barangkali inilah kenapa konser ini bertajuk Sambung Rasa, dalam pemahaman karawitan Jawa ‘rasa’ adalah sesuatu yang abstrak, sukar dijelaskan, tidak dapat ditulis layaknya model penulisan partitur diatonis, namun ‘rasa’ ada dan menyetir bagaimana sebuah musik karawitan harus dimainkan supaya enak didengarkan. Dalam tataran bentuk musikal, Gipta sedang menyambungkan ‘rasa’ dari tiap genre musik tersebut. Dalam tataran narasi, Gipta sedang menyambungkan ‘rasa’ dari tiap genre musik: art for art dipadu-padankan dengan narasi art for common sense.
Ikhtiar sambung rasa Gipta dimulai dengan repertoar bertajuk “Kontemplasi”, petikan gitar solonya adalah pengejawantahan dari perenungan tentang ‘rasa’, serta retrospeksi perjalanan musikal Gipta semenjak masih kecil hingga dewasa. Repertoar kedua “Lagu Baik” merupakan lagu Sisir Tanah. Selarik bait “bakar petamu! Jejak baru” yang ditulis Bagus Dwi Danto menjadi refleksi dari apa yang dilakukan Gipta dalam Sambung Rasa: membakar peta musik yang sudah bercokol lama (jazz harus begini karawitan harus begitu), kemudian membuat jejak baru (mencampur semua keragaman musik itu dalam Sambung Rasa).
Penelusuran akar Jawa Gipta terlihat dalam repertoar “Tepo Seliro” “Caploan”, dan “Jati Raga”. Di “Tepo Seliro” Gipta memadukan gitar jazz dengan keplakan kendang, menunjukkan bahwa dengan sikap tenggang rasa kedua instrumen dari musik dan belahan dunia berbeda ini bisa disatukan ke dalam satu kesatuan musik yang apik. Di repertoar “Caploan” Gipta memadukan keriuhan tiupan slompret, ritmis ramai calung bambu, dan bangunan musik fusion dari instrumen konvensional untuk menginterpretasikan kesenian barong Jogja. “Jati Raga” adalah repertoar yang menarik. Di luar teknis musikal saat Gipta mencampur gitar, bass, kentongan, vokal nuansa etnis, serta menyitir beberapa baris serat Wedhatama gubahan Mangkunegaran IV, repertoar ini terasa begitu intens menggambarkan perenungan eksistensial Gipta sebagai manusia yang fana di tengah keluasan semesta.
Gipta tetap mempertahankan fusion yang telah lama digelutinya dengan memainkan repertoar “Fred” karya gitaris fusion termahsyur Allan Holdsworth. Penambahan instrumen brass berupa trumpet dan saxophone dalam repertoar “Kasat” juga makin memantapkan rasa fusion, secara kasat mata rasa fusion ini tampak dari bagaimana Gipta mengotak-atik distorsi dan memetik gitarnya saat bagian solo. “Hujan Malam Ini” meneguhkan ikhtiar sambung rasa saat Gipta menyematkan gesekan string section yang mendayu-dayu.
Melalui delapan repertoar dalam konser Sambung Rasa, Gipta dengan lantang menyuarakan keyakinannya: beginilah seharusnya musik, tepo seliro atau tenggang rasa, saling menghargai antar genre dan budaya.
Ada banyak musisi jazz yang keren dan memiliki skill ala virtuoso tak tertandingi, pun di ranah musik yang katanya tradisi. Namun tidak banyak musisi seperti Gipta, yang menyadari sikap fundamentalisme dan tinggi hati memuja musik sendiri sebagai yang paling baik itu justru membatasi kenikmatan musik.
Pernyataan Gipta bahwa jazz dan karawitan adalah musik tenggang rasa memang benar. Lagipula bukankah jazz adalah musik yang sangat ramah kepada eksplorasi dan improvisasi seliar apapun. Entah mendapatkan wangsit dari mana, tapi Gipta bisa dibilang beruntung memperoleh hidayah untuk keluar dari zona nyaman jazz kemudian mengeksplorasi keberagaman dalam musik, menghayati tepo seliro atau tenggang rasa jazz dan karawitan.
Sebagai penikmat musik, kita juga beruntung dapat menghayati keberagaman musik melalui Sambung Rasa. Gipta mengajak kita berkontemplasi bahwa tidak ada musik yang par excellence, setiap musik adalah pelengkap bagi musik lainnya, musik adalah sambung rasa.
Mengutip lirik Sisir Tanah, Gipta memiliki ‘semangat baik’ menghayati keberagaman musik melalui Sambung Rasa. Siapkah kita ikut membakar peta dan membuat jejak baru bersama A. Ragipta Utama?
Yogyakarta, 12 Januari 2016.
*Aris Setyawan. Penulis. Penikmat musik. Bermain dan belajar di kolektif seni Roemansa Gilda. Dapat dihubungi melalui surel [email protected]