Makna (Musik) Mana Yang Kita Bela?

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underartcriticcultureessaymusicmusikseniTak Berkategori
music-is-life
Gambar dari thequotepedia.com

Kita sering mendengar tipikal komentar seperti ini: “aduh kok band atau musisi ini memainkan musiknya di konser nggak mirip sama sekali ya dengan versi di album”, atau “sayang sekali si anu menyanyikan lagunya improve begitu, nadanya nggak sama persis dengan yang di versi rekaman.” Di masa sekarang penikmat musik sering menilai pertunjukan atau konser musik yang ditontonnya dengan parameter hasil rekaman album sang musisi.

Loh memangnya kenapa? Memang harusnya begitu kan? Konser atau pertunjukan musik adalah perpanjangan dari rekaman, jadi sang musisi atau band harusnya tampil dan memainkan musiknya persis sesuai bentuk musik yang diabadikan di rekaman. Pertunjukan langsung itu harus memenuhi ekspektasi penonton yang berangkat ke venue berbekal imaji musikal sesuai apa yang ada di rekaman.

Premis di atas bisa jadi benar jika kita menggunakan paradigma penikmat musik yang hidup di jaman tatkala teknologi rekaman telah ditemukan. Seperti dicatat vokalis cum gitaris band punk jebolan CBGB David Byrne dalam bukunya How Music Works, bahwa audiens musik yang menggemari sebuah lagu di rekaman (vinyl, cd, cassette, mp3) kemudian berkeinginan mendengar versi yang sama di konser. Premis ini menjadi keniscayaan di era teknologi: musik dalam rekaman adalah kebenaran, maka sebisa mungkin musik yang dimainkan live harus mirip dengan versi rekaman.

Lebih lanjut menurut Byrne, premis ini tidak pernah ada di jaman ketika teknologi rekaman belum ditemukan. Di masa ketika musik adalah pertunjukan langsung, audiens hadir ke pertunjukan tersebut tanpa ekspektasi berlebih. Musik dimaknai bagus atau tidak dari kepiawaian sang musisi menyampaikan pesan estetisnya saat itu juga, saat pertunjukan berlangsung. Setiap audiens yang hadir secara langsung menjadi bagian dari konteks pertunjukan itu, berbeda dengan masa sekarang saat teknologi memungkinkan setiap orang secara individual mampu mendengarkan rekaman musik di rumah masing-masing, kemudian membawa bekal penilaian saat berangkat menonton pertunjukan.

Menyitir gagasan sosiolog H. Stith Bennet, kita telah mengembangkan sebuah kesadaran yang disebutnya sebagai ‘recording consciousness.’ Artinya, kita sering beranggapan suara di dunia seharusnya sama dengan suara yang kita dengar di rekaman. Teknologi rekaman sesungguhnya sangat membantu kehidupan manusia, karena musik yang sebelumnya hanya didengarkan di momen saat ada pertunjukan tiba-tiba bisa didengarkan kapan pun dimana pun. Namun sayang kebiasaan individualistik ini menjadikan manusia modern menganggap suara dalam rekaman itu parameter untuk menilai suara di dunia, atau menurut Bennet we internalize how the world sounds based on how recordings sound.

Gagasan Bennet mengenai recording consciousness dapat menjelaskan kenapa sekarang jamak kita temukan komentar seperti tertulis di awal tulisan ini. Kemudahan mendengarkan musik melalui teknologi menjadikan penikmat musik era modern memiliki recording consciousness, kemudian mencerap suara di dunia (suara alam seperti desir angin, rinai hujan, hingga konser musik) dan membandingkannya dengan suara rekaman yang menurut mereka adalah sebuah kebenaran absolut.

Penilaian kebenaran absolut tersebut tentu saja rancu jika kita maknai produk rekaman musik sebagai sesuatu yang artifisial. Maksudnya, sebelum sebuah bentuk musik menjadi versi jadi yang siap didengarkan dari media penyimpanan rekaman, musik tersebut harus melewati berbagai proses dalam recording session. Musik itu harus di-take atau direkam, lalu dipoles sana dan sini dalam proses mixing dan mastering, diamplifikasi, ada proses penambahan efek, nada-nada sumbang dari pita suara penyanyi harus diluruskan dengan piranti lunak yang seringnya punya fitur koreksi nada, dan berbagai tetek bengek prosesi recording lainnya.

Tidak dapat dipungkiri, hasil akhir sempurna dari sebuah musik terwujud karena proses panjang kerja studio ini. Buntutnya, agak rancu dan bermasalah dong jika kita menjadikan musik rekaman ini sebagai kebenaran absolut macam dogma, kemudian menggunakannya sebagai parameter menilai bagus tidaknya pertunjukan musik live.

Suara sumbang si penyanyi di konser adalah sesuatu yang manusiawi, siapa tahu pita suaranya tengah bermasalah karena kealpaan sebelum konser kok minum tiga gelas es teh, siapa tahu sang penyanyi tak mampu menjangkau register nada yang biasanya mampu didendangkan karena saat itu konsentrasinya terpecah oleh baper memikirkan kisah asmara.

Siapa tahu sebenarnya band atau musisi yang tampil sengaja memainkan musiknya dalam aransemen yang berbeda dengan di versi rekaman karena mereka sedang mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan estetis lain dari musik itu, atau untuk mengakali kebosanan memainkan bentuk musik yang sama sepanjang tur 30 kota.

Jika boleh mengadaptasi konsep false consciousness Marx bahwa “gagasan senantiasa menyembunyikan kepentingan kelompok yang berkuasa, gagasan bukan kebenaran, melainkan kepentingan yang dipalsukan.” Di dalam tataran ideologis recording consciousness bisa juga dianggap sebagai bentuk kesadaran palsu.

Musik hasil rekaman adalah gagasan yang seolah dicitrakan sebagai kebenaran absolut, padahal di baliknya ada kepentingan-kepentingan yang dipalsukan: synthesizer untuk membuat sintesa suara alam, perangkat lunak untuk mengkoreksi ketidakmampuan seorang penyanyi mencapai nada sempurna, metronome untuk menutupi ketidakmampuan drummer menjaga kestabilan tempo saat rekaman, hingga mixing untuk memoles hasil akhir musik terdengar manis dan rupawan. Bentuk lain kesadaran palsu yang paling bertahan lama di kancah musik arus utama Indonesia adalah: lip-sync dan minus-one yang dicitrakan sebagai kebenaran, menutupi kepentingan-kepentingan kapital di baliknya, menjaga penonton kelas menengah ke bawah dalam kepasifan.

Mungkin false consciousness dalam recording consciousness ini yang menyebabkan komponis dan konduktor musik klasik Amerika John Philip Sousa mengkritik keras recorded music di awal kelahirannya. Di dalam esainya yang terbit tahun 1906 bertajuk The Menace of Mechanical Music,”Sousa menuding musik rekaman sebagai mesin yang mereduksi ekspresi musikal menjadi sekadar sistem matematis dalam bentuk megaphone, roda, cakram, silinder, dan benda-benda yang berputar (vinyl, cd, dll).

Terlepas dari kepentingan Sousa sebagai komponis dan konduktor pertunjukan musik live yang tentu terancam oleh teknologi baru musik rekaman, kekhawatirannya cukup beralasan jika kita menilik komentar-komentar yang kita bicarakan di awal: saat khalayak penikmat musik menilai kualitas musik bukan dari ekspresi estetisnya, tapi berdasarkan mirip tidaknya dengan versi rekaman.

Sampai di sini seharusnya kita telah menemukan kesimpulan: jadi mana nih yang paling benar? Musik rekaman, atau musik pertunjukan langsung?

Mencoba mencari jalan tengah untuk pertanyaan di atas, kata kunci apa yang kita bicarakan adalah mimicry atau peniruan. Penikmat musik modern beranggapan pertunjukan langsung musik adalah peniruan yang harus semirip mungkin meniru kebenaran absolut dalam rekaman, penikmat musik serta praktisi semacam Sousa di era pra-rekaman beranggapan sebaliknya bahwa musik yang dimainkan secara langsung adalah kebenaran sementara musik rekaman merupakan bentuk peniruannya. Sementara jika kita lebarkan konteks pembicaraan kita, seni atau secara spesifik musik adalah bentuk peniruan atau mimicry dari nature atau alam.

Pakar neurologi Mark Changizi menyebut bahasa dan musik adalah upaya manusia meniru alam. Menurut Changizi suara nature atau alam sebenarnya terlampau pelik untuk dipahami dengan keterbatasan otak manusia, sebab ada frekuensi-frekuensi di level rendah tak mampu diterjemahkan datum indera manusia. Musik buatan manusia adalah upaya meniru alam hanya dengan menghadirkan frekuensi-frekuensi level tinggi yang dapat dipahami manusia.

Contoh dari pendapat Changizi dapat disimak dari penjelasan pakar mitologi Joseph Campbell. Menurut Campbell manusia membangun candi dan gereja dengan mengedepankan aspek akustika suara di bangunan itu. Ini karena manusia sedang menirukan akustik dalam sebuah gua, tempat manusia generasi pertama merasakan kerinduan spiritual. Tentu saja manusia tidak akan mampu menangkap standar akustik dalam gua secara persis, apa yang bisa dilakukan adalah membangun peniruan itu dengan simplifikasi.

Simplifikasi ini dapat didengar dan dirunut dalam setiap musik buatan manusia. Misalnya, suara debur ombak adalah produk alam yang coba ditiru sinden, maka pendendang laras Jawa ini akan melatih suaranya di pantai, membandingkan larasnya dengan debur ombak. Kemudian suara sinden ini ditiru ulang oleh penyanyi modern dalam berbagai aransemen, misalnya sepotong nyanyian ala sinden di pertengahan lagu Putih milik Efek Rumah Kaca.

Tulisan ini akan diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang sangat klise: jadi manusia nggak boleh jumawa dan takabur. Iya, klise sih. Tapi memang benar toh? Apakah kita masih bisa jumawa setelah mengetahui musik dan produk peradaban manusia lainnya hanyalah bentuk mimicry dari alam raya. Apakah kita bisa menyombongkan diri memiliki kualitas musikal lebih baik dan berhak menghakimi penampilan langsung sebuah band hanya berdasarkan persepsi setengah-setengah yang ditimbulkan kesadaran palsu ala recording consciousness. Apakah seseorang berhak menyombongkan diri sebagai manusia paling mengerti musik karena mampu hadir di ratusan konser, lalu ingin membasmi penonton lain yang menurutnya kurang mengapresiasi konser tertentu hanya karena terdiam tanpa gerak.

Apakah saya berhak jumawa dan menyombongkan diri melalui tulisan ini? Padahal ini hanya saripati pemikiran-pemikiran manusia lain yang saya olah dengan secuil pemahaman pribadi saya tentang apa itu musik, bagaimana menciptakan, mendengarkan, dan memaknai musik.

Mengutip lirik lagu dari band yang sebenarnya sudah bagus tanpa dinodai komentar fasis seseorang dengan mental—maaf—ngehek di atas: “makna-makna dalam aksara / makna, mana yang kita bela?” Ada sebuah subyektifitas yang sangat kentara dalam setiap bahasa yang kita bicarakan atau kita dengarkan. Anggap musik sebagai bahasa, ada subyektifitas yang sangat kentara memengaruhi makna mana yang kita cerap dan akan kita bela.

Artinya, mau memaknai musik dengan paradigma manusia modern pemuja kesempurnaan rekaman, atau sebagai bentuk seni pertunjukan persis era pra-modern, itu adalah suyektifitas yang akan dibela mati-matian oleh seseorang. Mau menjadi penikmat musik medioker yang jumawa hanya karena mampu hadir ke ratusan konser dan mengkoleksi ribuan rilisan musik, atau penikmat musik yang legowo menyadari prosesi menikmati musik menjadikannya sadar bahwa masih banyak musik belum didengarkan dan musik justru menggambarkan kekecilan manusia di alam raya, itu semua pilihan bersalut subyektifitas yang tentu akan dibela mati-matian.

Saat nanti seorang pembaca nyasar ke tulisan ini, barangkali kemudian tidak sepakat dengan beberapa poin klise yang saya paparkan di tulisan ini, saya tentu akan membela mati-matian makna dalam barisan aksara ini, sampai titik darah penghabisan saat argumen saya terbukti lemah dan kalah telak oleh argumen dari barisan aksara seorang pembaca yang nyasar itu.

Pusing kan? Sama, saya juga. Kenapa perkara memaknai musik harus serumit ini sih ya? Hhhhhhhh.

Yogyakarta, 03 Januari 2016.

 

TaggedkritikMusic


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan