LAIN: Etos D.I.Y dan Pemberontakan Norma Pascareformasi

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted undercriticculturemusicmusik

Di dalam dunia yang kapitalistik, semua hal—termasuk relasi sosial—kerap dibikin seragam. Kenapa? Karena mesin kapitalisme membutuhkan sosok-sosok yang patuh dan mengimani sabda bahwa perputaran modal adalah segalanya. Sosok yang seragam jelas akan mempermudah proses perputaran roda modal itu. Sementara sosok liyan yang berbeda akan menjadi batu atau kerikil yang mengganjal roda.

Kapitalisme entah bagaimana menjadi sebuah sistem ekonomi yang sungguh digdaya. Dan tak pelak kapitalisme memengaruhi segala aspek kehidupan manusia modern. Masyarakat yang tumbuh dalam sebuah industri. Saat semua hal bisa dengan mudah diciptakan di assembly line pabrik, saat segala makna diukur dengan seberapa banyak kau bekerja dan sebanyak itulah keuntungan yang kau kumpulkan.

Tak terkecuali saat kita membicarakan budaya (culture). Ketika kita masuk ke pembicaraan dunia yang kapitalistik tadi, saat semua hal bisa dijadikan industri. Maka, budaya juga dapat diciptakan dalam sebuah industri tersebut.

Bicara kapitalisme mengingatkan saya dengan film The Matrix karya sutradara The Wachowskis. Film fiksi ilmiah yang sepintas tampak menggambarkan visual perang-perangan antara manusia dan robot (mesin). Namun, jika kita telisik dan kupas lebih dalam, The Matrix sebenarnya adalah sebuah kritik bernas terhadap sistem kapitalisme.

Singkat cerita, dalam The Matrix digambarkan bahwa umat manusia dijaga tertidur dalam mimpi indah sebuah dunia simulakrum bernama The Matrix. Manusia harus tetap tertidur dan tidak sadar agar energi tubuhnya dapat dieksploitasi oleh mesin.

The Wachowskis mendasarkan gagasan simulakrum tersebut dari pemikir postmodernisme Jean Baudrillard. Dunia Simulakrum dalam The Matrix sesungguhnya adalah sebuah metafora dari bagaimana dunia nyata ini berjalan di bawah sistem kapitalisme: Semua orang dipaksa untuk tidak sadar, hidup dalam kepalsuan semu, semua harus bekerja dan menjadi mur dan baut demi tetap berjalannya mesin kapitalisme. Tidak bisa tidak. Roda harus tetap berputar, perputaran modal adalah panglima dan harus tetap berputar. Titik.

Simulakrum ini yang menjadikan semua hal harus diseragamkan. Karena menjadi liyan itu berbahaya dan dapat mengancam stabilitas. Seragam adalah berbeda yang baru.

Indonesia pernah berada dalam kondisi simulakrum ini cukup lama. Tidak kepalang tanggung, Indonesia berada di simulakrum selama lebih kurang 32 tahun. Dalam hal ini mesin atau aktor yang membuat simulakrum itu adalah diktator bernama Soeharto beserta sistem pendukungnya bernama Orde Baru.

Selama 32 tahun, Indonesia terihat adem ayem tentrem lan raharja. Semua tampak indah, swasembada pangan, stabilitas nasional terjaga. Namun, semuanya sebenarnya semu. Ini adalah simulakrum yang diciptakan Orde Baru untuk menjaga semua orang Indonesia tetap tenang tinggal di bawah kediktatoran. Di baliknya, ada pembungkaman, penghilangan paksa, perampasan dan perampokan, serta penyeragaman norma. Semuanya demi keuntungan mesin itu sendiri (baca: Soeharto beserta kroni).

Singkat cerita, simulakrum ini mulai terkuak dan pada akhirnya mesin utamanya yaitu Soeharto dan Orde Baru dapat diruntuhkan. Tirai kepalsuan simulakrum Orde Baru mulai tersibak saat Soeharto lengser keprabon pada tahun 1998. Indonesia, masuk ke babak baru. Sebuah revolusi, katanya. Babak baru itu bernama reformasi.

Ketika terjadi reformasi, apakah kemudian keadaan membaik dan semuanya bebas? Tidak. Dalam perkara identitas keindonesiaan dan norma sosial misalnya, sosiolog Ariel Heryanto mencatat bahwa justru terjadi kebingungan luar biasa pada masa transisi dari Orde Baru ke reformasi ini.

Dalam pengamatan Ariel, kebebasan yang tiba-tiba ini justru menciptakan kebingungan massal. Bagaimana tidak, setelah sebelumnya terkurung dalam penyeragaman norma selama 32 tahun, kita tiba-tiba mendapat kebebasan yang mutlak. Ibarat alegori gua Sokrates, kita yang sebelumnya berada dalam gua tiba-tiba bisa keluar dan menyadari ada realitas yang sebenarnya di luar sana.

Di masa transisi dari Orde Baru menuju Reformasi yang penuh kebingungan inilah lahir benih perlawanan dalam kancah musik Nusantara: LAIN.

LAIN lahir di tengah gegar kebudayaan, LAIN lahir saat keran kebebasan tiba-tiba menganga.

LAIN, sudah melawan sejak dalam pikiran. Bayangkan ini! Selama 32 tahun, orang Indonesia terbiasa disuruh-suruh dalam segala hal, termasuk dalam perkara menciptakan dan mendengarkan musik. Industri budaya berada di bawah kuasa kapital yang mengedepankan perputaran modal dan pengumpulan akumulasi surplus lebih. Itupun masih harus diatur negara yang ikut campur dalam semua produksi makna dengan instrumen seperti Departemen Penerangan dan bacot corong rezim bernama Harmoko.

Kita tentu ingat sensor demi sensor yang kerap terjadi terhadap produk budaya di zaman Orde Baru. Dangdut sempat dilarang karena lirik Rhoma Irama yang secara subtil mengkritik pemerintah, namun kemudian dirangkul sebagai alat kampanye Golkar ketika mereka sadar Dangdut digemari rakyat dan dapat digunakan sebagai alat. Musik pop niaga a la Betharia Sonata atau Pance Pondaag sempat dilarang karena dianggap musik cengeng yang melunturkan semangat pembangunanisme Orde Baru. Dan jangan lupakan bagaimana lagu rakyat tanpa dosa “Genjer-Genjer” menjadi lagu terlarang karena stigma kekiri-kirian yang melekat padanya.

LAIN lahir menegasikan semua kebobrokan itu. Keterbatasan akses pada modal kapital saat memproduksi musik menjadikan mereka kemudian menerapkan etos Do It Yourself (DIY). Mereka mengabaikan sama sekali hegemoni modal kapital, lalu membuat sendiri modal mereka (walau dalam kondisi cekak). LAIN memproduksi sendiri karya musik mereka dalam sebuah bingkai DIY yang lebih karib dikenal sebagai indie (independen).

Dengan etos DIY yang dianutnya, LAIN secara tidak langsung tengah mendobrak tatanan norma-norma seragam yang sebelumnya dilanggengkan Orde Baru. Walau sempat mencoba berkompromi dengan mengajukan demo musik mereka ke major label. Toh, pada akhirnya rencana itu gagal dengan sendirinya karena alasan sederhana namun penting: LAIN ngotot menggunakan lirik berbahasa Inggris dalam musiknya. Sementara pihak label menyarankan bahasa Indonesia agar musik LAIN lebih mudah dijual.

LAIN seperti tidak mau ambil pusing dengan tetek bengek profit atau keuntungan dari musik yang mereka buat. Bagi LAIN, kepuasan estetis atas karya musik mereka adalah yang utama. Maka, jadilah mereka bergerilya memberontak norma-norma (industri musik) pascareformasi. Semua hal dikerjakan sendiri atas nama etos DIY, mulai dari penciptaan dan produksi musik, medium musik tersebut (CD), media promosi (video klip), sampai pertunjukan langsung (konser LAIN di Gedungdua8).

Kembali ke ihwal kapitalisme dan simulakrum tadi, kisah LAIN dan etos DIY yang dianutnya dapat menjadi sebuah refleksi penting, bahwa kebingungan massal ketika sebuah tirai simulakrum dikuak memang akan terjadi sebagaimana pemaparan Ariel Heryanto. Namun, akan selalu ada aktor-aktor yang dapat menjadi pendobrak. Mereka yang tersadarkan terlebih dahulu kemudian mencoba menyadarkan orang lain agar benar-benar bangun dari simulakrum tersebut.

LAIN, disadari atau tidak, sengaja atau tidak, telah membangunkan banyak orang dari simulakrum itu. Bahwa penyeragaman itu berbahaya dan mereka tidak mau diseragamkan. Bahwa musik tidak selalu harus diatur oleh negara dan korporasi: musik tidak boleh cengeng, musik harus berbahasa Indonesia biar menjual, musik harus bla bla bla.

LAIN dengan etos DIY-nya menjadi pendobrak norma-norma itu, menjadi penjambung lidah bagi mereka-mereka yang tengah kebingungan di masa transisi pascareformasi. Walau sangat disayangkan tentunya bahwa umur mereka tidak panjang. Tetapi, di usia yang pendek itu mereka telah meletakkan sebuah pondasi tentang bagaimana kita harus bersikap di hadapan Yang Maha Kuasa bernama kapital, diktator, dan mesin bernama kapitalisme. Bahwa pemberontakan itu abadi.

TaggedDjakarta GoodbyekapitalismeLAINLAIN Bandorde baruReformasiThe Matrix


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan