
Pada 19 November 2021 kemarin, solois mega bintang asal Inggris, Adele, bikin kegemparan di seantero dunia. Adele merilis album keempatnya bertajuk 30. lazimnya mega bintang musik pop, rilisan itu bikin kegemparan (baca: kontroversi) di dunia musik.
Bagaimana tidak? Tiga hari pascadirilis, 30 tercatat menjadi album terlaris di peringkat musik di daratan Paman Sam. Di Spotify dan kanal musik streaming lainnya, album Adele langsung menyalip posisi Red (Taylor’s Version) milik Taylor Swift yang dirilis beberapa waktu sebelumnya.
Kontroversi yang melingkupi perilisan album ini dan jadi pergunjingan setidaknya ada dua: Pertama, Adele dan 30 mengobrak-abrik tatanan industri vinyl atau piringan hitam. Sejak masa pandemi, produksi vinyl di seantero dunia sudah terganggu karena supply chain yang bermasalah akibat adanya pandemi selama kurang lebih dua tahun ini. Pokoknya, jika seorang musisi ingin merilis album dalam bentuk vinyl harus menunggu lama karena supply chain yang terganggu.
Adele dituding turut memperburuk kondisi ini karena tidak tanggung-tanggung Adele memesan ke pabrikan vinyl sebanyak 500,000 pelat untuk album 30. Tentu ini kabar buruk untuk musisi bermodal cekak dan tidak punya privilese sekuat Adele. Mereka bisa-bisa harus merilis album berbentuk vinyl dua tahun kemudian karena harus mengantre dan berjibaku dengan Adele di pabrikan vinyl yang jumlahnya sudah sangat sedikit.
Kedua, dalam rangka perilisan 30, Adele menunjukkan kuasanya sebagai mega bintang musik pop yang memiliki kuasa luar biasa dan privilese yang tokcer. Jadi ceritanya dalam rangka merilis album baru berisi 12 lagu ini, Adele meminta Spotify salah satu kanal streaming musik paling terkenal untuk mengubah kebijakan mereka. Adele meminta Spotify menghilangkan fitur shuffle atau memainkan musik secara acak. Jadinya para pendengar tidak akan bisa menyetel albumnya secara acak dan harus mendengarkan album itu secara urut sesuai senarai lagu yang disediakan Adele.
Berkaca dari dua kasus yang melingkupi perilisan album baru Adele ini, saya jadi memikirkan hal ini: Pertama, mengenai kuasa Adele yang luar biasa. Sebagai seorang musisi yang namanya sudah sangat kondang dan moncer seantero jagad, Adele bisa punya privilese dan kuasa sedemikian besar dan mampu menyuruh Spotify, streaming giant untuk mengubah fiturnya. Seharusnya dengan kuasa sebesar itu, Adele bisa dong punya inisiatif untuk mendorong Spotify—dan streaming services lainnya—untuk bisa memikirkan ulang mekanisme pembayaran royalti yang lebih adil kepada para musisi-musisi lain, terutama musisi independen.
Kedua, Adele seharusnya memikirkan bagaimana monopolinya terhadap produksi vinyl itu mempersulit musisi-musisi lain yang ingin merilis album dalam bentuk vinyl. Sebagaimana kita tahu, beberapa tahun belakangan gerakan merilis dan mendengarkan rilisan fisik sedang membahana. Di tengah dominasi streaming sebagai metode mendengarkan musik, gerakan rilisan fisik ini jadi angin segar karena akhirnya penikmat musik akan bisa menikmati dan menghargai sebuah musik sebaik-baiknya dan tidak terdikte oleh algoritma piranti lunak.
BTW, niatan Adele membuang fitur shuffle ini sebenarnya bagus, sih. Adele menginginkan para pendengar musiknya bisa menikmati rilisannya secara utuh dan urut. Di tengah budaya mendengarkan musik yang dikuasai algoritma Spotify dan budaya mendengarkan playlist dengan isi lagu campur aduk, mendengarkan sebuah album penuh secara urut rasanya jadi kebiasaan yang langka sekali. Ini memunculkan pertanyaan di benak saya: untuk seorang musisi, apakah menciptakan album penuh berkonsep dengan narasi masing-masing lagu yang ditata sedemikian rupa itu masih relevan dan penting?
Musisi, kerap kali memikirkan benar-benar sebuah album penuh dengan konsep yang ditata sedemikian rupa. Mereka tidak sembarangan dan secara acak menyusun urutan lagu dalam album penuhnya. Kenapa? Karena urutan lagu di album penuh itu menjadi narasi yang biasanya nyambung dari lagu pertama sampai lagu terakhir.
Ambil contoh misalnya dari kugiran rock asal Yogyakarta, Melancholic Bitch. Di dua album penuhnya Balada Joni dan Susi dan NKKBS Bagian Pertama, mereka menggubah musik yang memiliki tema yang sama, kemudian menyusun urutan lagu di album penuh itu sebagai sebuah jalinan cerita yang runut.
Di Balada Joni dan Susi, Melbi memang menceritakan banyak hal dan isu di lagu-lagunya, tentang kondisi sosial politik Indonesia. Namun, semuanya ditata dengan apik berbalut kisah cinta dua orang pasangan berusia belia: Joni dan Susi. Dan Narasi itu diurutkan dari lagu pertama di mana Joni dan Susi sedang mabuk kepayang dengan asmara, hingga di lagu di penghujung album ketika Joni dan Susi harus berurusan dengan polisi.
Sementara itu di album NKKBS Bagian Pertama, Melbi masih membicarakan isu-isu yang sungguh politis. Namun, ditata urutan lagunya menjadi semacam opera rock yang ada baiknya didengarkan secara runut sejak lagu pertama sampai lagu terakhir agar dapat konteks penuh dari narasi tentang ke-opresifan Nasion bernama Indonesia di zaman Orde Baru.
Contoh lainnya tentu masih banyak. Grup folk-rock legendaris Kelompok Kampungan misalnya, menyusun album Mencari Tuhan dengan apik. Mereka menceritakan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia di lagunya, ditambah dengan lagu tentang makna spiritualitas. Saya tidak bisa membayangkan jika lagu itu cuma didengarkan setengah-setengah atau lagunya dipisah-pisah dan didengarkan satu lagu saja dicampur-aduk dengan lagu Raisa atau Pee Wee Gaskins di sebuah senarai acak. Konteks musik politis Kelompok Kampungan rasanya akan dikebiri dan dipaksa matching dengan lagu lain yang tidak setopik dengan album Mencari Tuhan.
Daftar album-album penuh yang ada baiknya didengarkan secara utuh ini akan sangat panjang jika disebutkan semua dan tulisan pendek ini tidak akan bisa mewadahinya. Ambil lagi dua contoh, deh. Isyana Sarasvati misalnya. Solois yang awalnya merilis album yang sangat-sangat ‘pop-niaga’ karena dia bernaung di label musik arus utama. Tiba-tiba Isyan merilis album Lexicon. Sebuah album dahsyat yang rasa-rasanya jarang-jarang ada di Indonesia, sebuah album opera rock yang terdengar sangat matang dan tertata dengan apik.
Isyan sudah mencurahkan begitu banyak energi dan pikiran menyusun album penuh itu sedemikian rupa agar narasi atau benang merahnya nyambung dari track pertama hingga track terakhir. Isyan, tentu berharap pendengar musiknya bisa menikmati suguhan opera rock itu dengan saksama dari awal sampai akhir. Bayangkan jika kemudian satu atau dua lagu saja yang dicuplik, dan dicampur dengan lagu dari musisi lain yang genre dan konsepnya berbeda jauh dengan Lexicon?
Satu contoh lainnya adalah Sinestesia milik Efek Rumah Kaca. Album yang dirilis pada 2015 ini juga sungguh fenomenal. Efek Rumah Kaca yang album-album sebelumnya terdengar sebagai band minimalis pop dengan jumlah instrumen yang minim, dengan durasi lagu-lagu yang berkisar maksimal lima menit. Tiba-tiba membikin album berkonsep yang dari segi pemilihan judul lagu, pemilihan instrumen musik yang berjibun banyaknya, sampai durasi lagu yang sungguh panjang. Rasa-rasanya sayang sekali jika album itu tidak didengarkan secara utuh dari lagu pertama “Merah (Ilmu Politik)” sampai lagu terakhir “Kuning (Keberagaman)”.
Lalu apa kesimpulannya? Saya pikir di era kiwari ketika kebanyakan orang lebih gemar mendengarkan musik gado-gado di senarai atau playlist musik di Spotify ini, keberadaan album penuh itu masih penting. Terlepas dari kontroversi yang melingkupi perilisan 30 Adele, saya masih bisa setuju dengannya. Ada kalanya alih-alih mendengarkan musik di senarai yang kita susun atau bahkan secara pasrah mendengarkan musik di daily mix yang disediakan Spotify, sekali waktu kita ada baiknya mulai lagi mendengarkan sebuah album penuh secara utuh, runut dari lagu pertama sampai lagu terakhir.
Kebiasaan ini akan membikin kita jadi lebih peka dalam memaknai sebuah karya musik. Ini akan membuat kita bertanya-tanya misalnya: kenapa lagu ini ditempatkan di urutan pertama album penuh? Kenapa Hursa merilis album Katarsis yang menawarkan bukanlah rock mentah sekadar pelampiasan ledakan emosi dan perlawanan. Melainkan rock kontemplatif, titik cerah atas kekalutan yang telah terlampaui.
Terlepas dari kontroversi Adele yang menunjukkan bagaimana relasi-kuasa itu nyata dan ada di industri musik, saya harus tetap mengucapkan terima kasih kepadanya. Berkat kuasa Adele terhadap Spotify saya jadi merenungi lagi ihwal proses kreatif penciptaan album penuh musik. Sebuah pengingat bahwa musisi sudah bekerja sangat keras dalam menyusun sebuah album penuh dengan konsep dan narasi yang dipikirkan matang-matang.
Iya, album penuh (LP) itu masih penting. Maka, di luar kebiasaan kita mendengarkan musik secara acak, ada baiknya boleh lah sesekali mendengarkan album penuh musik secara runut. Agar kita bisa meresapi benar-benar apa makna dan pesan yang hendak disampaikan oleh sang musisi di dalam album penuh terkonsep itu.
Abaikanlah tombol shuffle atau acak di pemutar musik favoritmu! Dan dengarkan album penuh musik secara utuh. Niscaya, kita akan mendapatkan pengalaman yang berbeda dan lebih menyenangkan.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Pop Hari Ini.