Kill Your Idols

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted undercritickritikmusicmusikRandom Thought

Setiap orang pasti pernah mengalami yang namanya patah hati. Bukan hanya patah hati karena putus dengan pacar atau cinta kepada people we can’t have tak berbalas. Patah hati itu juga dapat hadir dalam satu bentuk yang lebih menyakitkan: patah hati karena sosok yang kita idolakan, kita puja, kita jadikan panutan hidup telah malih rupa.

Saya pribadi mengalami patah hati ini beberapa kali. Yang terakhir adalah saat Krist Novoselic, pembetot bass kugiran grunge legendaris Nirvana memberikan puja-puji kepada Donald Trump. Di situ saya membayangkan barangkali Kurt Cobain akan guling-guling kecewa di alam kubur saat mengetahui karibnya itu malih rupa menjadi seorang pendukung sayap kanan.

Sebelumnya, saya patah hati berat ketika tahu Thom Yorke dan comrade-nya dalam Radiohead tetap ngotot manggung di Israel sekalipun sudah diperingatkan oleh Roger Waters DKK dari Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) Movement, gerakan yang menyerukan boikot terhadap Israel dalam rangka mendukung kemerdekaan Palestina sebagai sebuah Nasion yang merdeka.

Saya marah ketika imajinasi masa kecil saya yang lekat dengan dunia sihir Hogwarts harus berantakan gara-gara belakangan J.K. Rowling, sosok yang bertanggungjawab menggubah kisah Harry Potter berubah menjadi seorang homophobic. Pernyataannya sungguh melukai perasaan kawan-kawan LGBTQ+.

Setali tiga uang dengan Krist Novoselic, bahkan seorang Tom Araya dari Slayer dan John Dolmayan penggebuk drum System of a Down pun rupanya mendukung Donald Trump. Hati saya pecah berkeping-keping karena para pahlawan masa muda saya itu semuanya sudah malih rupa.

Daftar patah hati saya karena dikecewakan artist yang saya idolakan akan panjang sekali jika ditulis semuanya. Barangkali bisa lebih panjang dan lebih menyakitkan ketimbang patah hati karena hubungan asmara. Kenapa? Karena hubungan asmara dengan gebetan itu datang silih berganti.

Namun, hubungan saya dengan para artist yang saya sebutkan bisa dibilang ideologis. Tidak dapat dimungkiri, merekalah yang membentuk jati diri saya menjadi saya yang seperti sekarang ini. Saya tumbuh dengan karya mereka, gagasan-gagasan ideal tentang dunia yang lebih baik sebagaimana yang mereka paparkan dalam karyanya. Dan itu tertancap kuat di diri saya. Abadi.

Ketika saya sedang dalam titik gundah gulana memikirkan benar-benar para idola saya yang malih rupa itu, saya teringat bahasan lama yang mungkin sudah berbusa-busa dibicarakan dalam kajian budaya: la mort de l’auteur. The Death of The Author.

The Death of The Author tak ayal memicu diskusi personal dalam kepala saya. Premis dari gagasan Roland Barthes itu adalah bahwa ketika sebuah karya sudah dilepaskan ke publik, sang pengarang (baca: Artist) sudah mati. Karya itu mempunyai nyawa sendiri, hidup sendiri, berkelana sendiri, untuk dinilai sebebas apapun sesuai keinginan publik. Di sini pengarang sudah tidak memiliki daya apapun terhadap karya itu.

Terkait dengan patah hati saya terhadap para idola itu, gagasan Barthes ini membuat saya berpikir: Bisakah kita memisahkan sang artist dengan karya yang ia buat? Bisakah kita menyukai dan menikmati sebuah karya sekaligus membenci sang seniman penciptanya? Bisakah kita mengabaikan sikap politik berengsek itu dan hanya apresiasi karyanya saja? Bisakah kita tetap mendengarkan Siksa Kubur meski gitarisnya bertandang ke Istana Negara, dan tetap mendengarkan Marjinal meski Mike bersalaman dengan Moeldoko?

Obrolan mengenai hal ini sempat cukup ramai saat saya nge-tweet ihwal pemisahan karya seni dan sang senimannya. Di satu sisi, beberapa orang beranggapan bahwa The Death of The Author itu merupakan sebuah konsep usang. Bahwa karya seni bagaimanapun tidak akan bisa dipisahkan dari sosok sang seniman. Ini karena karya seni itu merupakan buah akal budi dari sang seniman.

Namun, Di sisi lain, beberapa beranggapan bahwa konsep The Death of The Author masih berlaku dan sangat relevan. Ini karena meskipun karya seni memang merupakan sebuah buah akal budi seorang seniman, kondisi ini terjadi ketika sang seniman masih bergumul dalam proses kreatif. Ketika sudah dilemparkan ke publik, karya itu sudah lepas dari proses kreatif sang seniman. Ia hidup sendiri, memiliki nyawa dan nilai (value) sendiri.

Salah satu pernyataan yang menarik di kolom balasan tweet saya datang dari Herry “Ucok” Sutresna alias @lord_kobra. Di situ Morgue Vanguard berkata bahwa kita bisa tetap mengapresiasi sebuah karya seni tanpa harus mengabaikan sikap politik sang seniman. Artinya, kita tetap bisa mendengarkan Slayer sekaligus tahu bahwa Tom Araya adalah seorang pemuja white supremacist bernama Donald Trump.

Tawaran ekstrem lainnya datang dari vokalis Seringai, Arian13 alias @aparatmati yang menyerukan bahwa kita bisa memisahkan antara sang seniman dengan karya seninya. Bahkan Arian menyerukan bahwa kalau perlu kita bisa memboikot sang artist dengan cara tidak membeli atau membayar untuk karya-karya terbaru yang dirilis.

Pendapat saya pribadi? Saya cukup setuju dengan tawaran Ucok dan Arian. Saya rasa cara terbaik tetap waras dan keluar dari paradoks berubahnya pandangan politik para idola kita ini adalah dengan cara membuat sebuah garis demarkasi, memisahkan antara sang seniman dengan karya seninya.

Kill Your Idols. Setali tiga uang dengan gagasan The Death of The Author, sudah saatnya kita membunuh idola kita. Bukan secara harfiah membunuh mereka tentunya. Namun, membunuh dalam artian menganggap para seniman itu sudah mati, dan tetap mengapresiasi karya seni yang mereka ciptakan.

Semacam membenci sikap Mike Marjinal yang bersalaman dengan Moeldoko dan menciderai kesakralan “anti military” yang mereka gaungkan di masa lampau. Namun, tetap dapat mendendangkan “Maling-maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi.”

Sebagaimana saya yang masih bisa mendengarkan sembari karaokean album Radiohead paling politis Hail to The Thief sekalipun benci benar dengan kebebalan Thom Yorke DKK yang ngotot konser di negara Israel. Atau tetap menganggap Sex Pistols adalah salah satu kugiran paling hebat sepanjang masa karena menemukan punk, sekalipun di kemudian hari, John Lydon sell out dan nama besar Sex Pistols terpampang di kartu kredit bikinan Virgin.

Dunia ini tengah kacau balau. Ketimbang menghabiskan tenaga dengan meratapi idola kita yang pandangan politiknya malih rupa, alangkah baiknya jika kita bunuh saja para idola itu. Pengarang sudah mati. Kita nikmati dan apresiasi saja karyanya, atau menjadikan karya seni itu sebagai bahan bakar untuk kita berupaya memperbaiki dunia yang tengah kacau balau ini.

Kill your idols. Let them fade away!!!

Taggedarian13Donald TrumpJ.K. RowlingJohn Dolmayankill your idolskrist novoselicmarjinalmoeldokoNirvanaRoger Waters


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan