Kenikmatan Bergoyang

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underartcriticcultural studiesessayilmu budayamusicmusikseniWriting
Temon Holic Lereng Lawu. (Foto: Aris Setyawan)
Temon Holic Lereng Lawu. (Foto: Aris Setyawan)

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kawasan wisata air terjun Jumog di Karanganyar Jawa Tengah selalu padat dipenuhi pengunjung saat libur panjang lebaran. Hari ketiga libur hari raya adalah puncak padatnya pengunjung, petugas loket tiket masuk mencatat ada 5000-an pengunjung berwisata ke objek wisata di lereng gunung Lawu itu. Pengunjung domestik maupun internasional sebagian besar tentu bermaksud menikmati suasana asri kawasan air terjun yang rindang dengan pepohonan, menghayati gemericik air di sungai, bermain basah-basahan bersama rekan. Untuk menghibur wisatawan, pengelola kawasan wisata juga menghadirkan hiburan berupa pertunjukan electone yang memainkan musik dangdut di sebuah panggung kecil di dekat air terjun.

Di antara riuhnya pengunjung yang hadir untuk menengok keindahan air terjun, hadir sekelompok anak muda yang mengenakan seragam kaos berwarna merah. Alih-alih datang untuk berwisata mereka lebih suka bergerombol di depan panggung pertunjukan dangdut. Itulah tujuan utama mereka datang ke sana, untuk menonton electone, menghayati cengkok vokal biduan, serta bergoyang menghayati hentakan ritmis ketipung. Anak-anak muda ini menamakan dirinya Temon Holic Lereng Lawu.

Di tengah stigma dangdut yang sering dicap sebagai musik kampungan karena di setiap konser para penontonnya sering berlaku rusuh dan dekat dengan alkohol dan pelecehan pada perempuan—setidaknya inilah gambaran yang sering dicitrakan di media arus utama—Temon Holic adalah sebuah antitesa bagi stigma itu. Komunitas penggemar dangdut ini belakangan mendapat reputasi yang positif karena identitas kelompok yang mereka bangun dengan tiga manifesto dasar: 1) Anti mabuk dan merokok saat berjoget, 2) anti rusuh, dan 3) anti melecehkan perempuan saat menonton konser. Tiga aturan dasar ini menjadi kredo yang harus dipatuhi oleh mereka yang menyebut diri anggota Temon Holic dan mengenakan t-shirt seragam. Di setiap t-shirt seragam yang dikenakan para anggotanya tersemat teks Temon Holic dengan tagline yang unik: KIS yang merupakan singkatan dari kreativitas, imajinasi/inspirasi, dan seni. KIS inilah yang mereka anggap sebagai filosofi joget. Daripada menghabiskan energi untuk tiga hal negatif seperti disebutkan di atas, Temon Holic lebih suka memaknai joget dalam dangdut sebagai perilaku eksplorasi kreativitas, imajinasi/inspirasi dan seni.

Muchtar-Setyo-Wibowo-Temon-370x306
Muchtar Setyo Wibowo alias Temon. (Foto: Kaskus)

Sejarah berdirinya komunitas joget berawal dari sosok Muchtar Setyo Wibowo atau yang akrab dipanggil Temon. Pemuda asal Klaten ini adalah penyuka dangdut yang sering menonton pertunjukan dangdut di daerahnya, terutama saat grup dangdut asal Klaten Sagita Nada manggung. Goyangan khas Temon menjadi sorotan banyak orang karena terlihat unik dan khas, berbeda dengan goyangan dangdut pada umumnya. Berawal dari Temon kemudian banyak orang yang mengikuti gaya jogetnya. Semakin banyak orang mengikuti gaya berjoget Temon menjadikan mereka memerlukan sebuah nama sebagai wadah, jadilah nama Temon Holic sebagai sebuah komunitas joget.

Goyangan Temon memang unik. Biasanya akan ada seorang leader yang berada di depan barisan penjoget, seluruh penjoget harus mengikuti gerakan leader tersebut. Jika dicermati gerakan joget mereka tidak memiliki pakem koreografi, melainkan gerakan spontan yang muncul begitu saja mengikuti hentakan ritmis musik yang dimainkan.

Hazrat Inayat Khan menjabarkan mengenai sangita (musik dalam bahasa Sansekerta) yang memiliki tiga aspek, yakni (1) menyanyi, (2) memainkan alat musik, dan (3), menari atau gerak. (Khan, 2002) Contoh penjabaran Khan mengenai 3 aspek musik tersebut dapat dilihat dalam musik dari daratan India yang memiliki unsur nyanyian, instrumen, dan yang terakhir selalu ada unsur gerak atau tarian di dalamnya. Musik dangdut sebagai salah satu musik yang mendapatkan pengaruh kuat dari India juga memiliki 3 unsur tersebut. Musik dangdut memiliki nyanyian (syair yang dinyanyikan), ada instrumen yang dimainkan, dan yang terakhir seringnya ada gerak atau tarian, atau dalam bahasa dangdut dikenal sebagai joget.

Gerakan joget spontan yang dihadirkan Temon Holic sangat berbeda dengan gerakan dalam tari yang tertata rapi misalnya dalam tari tradisi. Dalam tari tradisi terdapat bentuk yang terdiri dari susunan atau struktur yang rapi dan saling berkaitan, biasanya sudah ada koreografi sebagai pakem agar tariannya mengikuti struktur yang ada tersebut. (Suharto, 1987). Sementara gerakan joget Temon Holic biasanya merupakan gerakan yang tidak terstruktur dan tidak ada koreografinya. Gerakan spontan ini dipicu oleh musik dangdut yang memiliki hentakan-hentakan dinamis sehingga orang yang mendengarkannya secara otomatis membuat gerakan joget. Kondisi ini seperti dijabarkan oleh Djohan bahwa ditinjau dari neurobiologi, secara alamiah musik memang dapat memerintahkan manusia yang mendengarkannya tanpa sadar menggoyangkan kaki, tangan, atau seluruh bagian badannya. (Djohan, 2009).

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=lbxET3wXaFc]

Barangkali Temon awalnya tidak pernah menyangka bahwa goyangan unik dan filosofi jogetnya akan pondasi awal bagi banyak penggemar dangdut. Sekarang komunitas joget ini tak hanya dikenal di Klaten, Temon Holic menyebar dan dikenal setidaknya di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Tiap komunitas di masing-masing daerah akan menyematkan identitas regionalnya masing-masing di belakang nama Temon Holic. Salah satunya adalah Temon Holic Lereng Lawu.

Diaspora Temon Holic dan filosofi joget KIS ini menarik untuk dicermati saat kita hendak membicarakan apa itu ‘identitas keindonesiaan’ dan di mana posisi ‘dangdut’ dalam identitas keindonesiaan tersebut.

Sepanjang sejarah musik modern Indonesia, dangdut sering mendapat banyak sorotan. Sejak awal kemunculannya dengan formula India-Melayu-Rock yang dibawakan raja dangdut Rhoma Irama genre ini sudah terjebak dalam pusaran perdebatan strata kelas antara musik rock yang dianggap lebih tinggi derajatnya. Dangdut adalah liyan bagi rock yang saat itu bercokol di arus utama. (Weintraub, 2012). Dangdut juga kadung mendapat stigma sebagai musiknya kelas menengah ke bawah karena tipe pertunjukan langsungnya dekat dengan alkohol, rusuh, dan sensualitas biduan perempuan. (Wallach, 2008). Stigma negatif ini makin kuat bercokol saat dangdut selalu digambarkan demikian rupa oleh media-media arus utama. (Taufiqurrahman, 2012).

Bagi mereka yang mengagungkan ‘keadiluhungan timur’ sebagai identitas keindonesiaan, dangdut tentu masuk sebagai daftar hitam yang harus sungguh-sungguh diawasi. Ini dapat dilihat beberapa tahun yang lalu saat eksistensi Inul Daratista dengan goyang ngebor-nya mendapat penolakan luar biasa oleh begitu banyak kalangan masyarakat yang menganggap Inul tidak mencerminkan budaya bangsa yang adiluhung. (Heryanto, 2012).

Mengutip pemahaman Ariel Heryanto, kata kunci identitas keindonesiaan yang paling penting dan memiliki peran penting bagi bangunan identitas keindonesiaan adalah hibriditas. Menurutnya segala yang campuran inilah sebenarnya yang lebih mudah populer dan membangun keindonesiaan. (Heryanto, 2015). Di satu sisi sebenarnya yang campuran ini memang menjadi budaya populer yang digemari dan dilakoni masyarakat Indonesia, namun di sisi lain juga banyak dicibir dan diacuhkan. Ini dapat dilihat dari bagaimana dangdut dicibir sebagai jenis musik yang buruk karena goyangan sensualnya adalah bentuk profan yang merusak kesucian budaya timur yang adiluhung. Namun di sisi lain toh dangdut tetap menjadi salah satu musik yang paling populer dan paling digemari masyarakat Indonesia.

Di luar polemik yang mengikutinya dangdut ala Inul sempat merajai pemberitaan dan pertunjukan di media arus utama. Jangan lupakan juga bahwa acara pencarian bakat dangdut semacam D’Academy dan KDI memiliki rating yang amat tinggi di televisi, dan acara Yuk Keep Smile (YKS) dengan goyang Cesar-nya sempat menjadi acara favorit dengan durasi penayangan panjang saat prime time. Belakangan Temon sebagai penggagas joget yang diadaptasi Temon Holic juga kerap muncul di layar kaca, salah satunya saat Temon dikontrak oleh Trans TV untuk tampil di acara Duel Maut. Sebagai sebuah sintesis dari beberapa musik lain seperti India Melayu dan rock barat, dangdut adalah contoh dari apa yang Ariel Heryanto sebut sebagai hibriditas tersebut.

Sayangnya tidak banyak yang mau memahami identitas keindonesiaan dengan mengambil contoh kasus eksistensi dangdut (joget Temon Holic) ini. Mengutip kritik Ariel Heryanto bahwa:

“Terlalu lama para akademisi yang meneliti tentang Indonesia tak mampu atau tidak tahu bagaimana harus menghadapi hal-hal yang menjadi obyek kesukaan jutaan warga negara Indonesia. Di samping itu, terdapat sejarah panjang Orientalisme dan esensialisme dalam kajian tentang Indonesia yang dilakukan oleh para peneliti asing dan lokal, yang lebih suka mencari dan memahami aspek eksotis Indonesia, sejalan dengan imajinasi kolonial tentang penduduk pribumi yang ‘asli’. Sudah terlalu lama kaum terpelajar Barat memandang budaya populer di Indonesia dan Asia secara umum, semata-mata sebagai tiruan buruk dan berselera-rendah budaya populer Barat. Akademisi yang meneliti budaya Indonesia kerap memberi perhatian besar kepada budaya ‘tradisional’ atau ‘etnik’, budaya nasional ‘resmi’ yang diakui negara, atau budaya ‘avant-garde’ dan ‘adiluhung’ yang lahir dari kaum terpelajar karena menarik perhatian penonton internasional yang umumnya adalah kritikus dan akademisi seni di kota-kota metropolitan.” (Heryanto, 2015).

Kritik di atas beralasan, memandang dangdut sebagai salah satu bentuk budaya populer memang tidak bisa menggunakan kacamata orientalisme dan esensialisme, serta perspektif ‘avant-gardisme’ yang melulu berbicara seni nan tinggi. Dengan kedua kacamata itu, dangdut akan selalu dipandang ‘kurang seksi’ dan ‘kurang eksotis’, dengan kacamata tersebut goyang Cesar di YKS atau munculnya Temon di Trans TV akan selalu dipandang sebagai ‘bentuk selera rendah’ yang harus dienyahkan demi selera kelas menengah yang lebih bagus.

Pasca runtuhnya orde baru sebagai patron utama identitas keindonesiaan, manusia Indonesia memang bebas menentukan identitas apa yang akan dianutnya. Terjadi demokratisasi yang mempermudah keberlangsungan hibriditas. Ada manusia Indonesia yang mengganggap ‘yang tradisional dan etnik’ (semacam gamelan atau musik tradisional lain) sebagai satu-satunya budaya bangsa. Ada yang lebih menggemari K-pop, ada yang menegaskan diri sebagai penganut budaya indie dan cutting edge. Demikian pula Temon Holic yang memilih identitas keindonesiaanya sebagai anak muda yang menggemari musik dangdut, dan menghayati kenikmatan bergoyang dengan filosofi joget yang diyakininya.

Jogetan unik Temon Holic bukan sekadar apa yang disebut sebagai bentuk menghilangkan stres dan melupakan masalah hidup (Wallach, 2008), jika dibaca lebih dalam jogetan mereka adalah upaya untuk menunjukkan bahwa seharusnya dangdut memiliki posisi yang setara dengan bentuk hibriditas identitas keindonesiaan yang lainnya. Bahwa tidak ada identitas yang paling menonjol dan paling atas berhak mengenyahkan identitas lain yang dianggap lebih rendah derajatnya. Bahwa etnosentrisme itu berbahaya.

Dalam rangka meminta kesetaraan tersebut Temon Holic menunjukkan bahwa kenikmatan bergoyang mereka tidak melibatkan sama sekali unsur-unsur yang ditolak oleh masyarakat post-islamisme Indonesia karena dianggap profan dan dosa: alkohol, kerusuhan, sensualitas. Kenikmatan bergoyang Temon Holic di XT Square Yogyakarta, THR Sriwedari Solo, atau di panggung electone di lereng Lawu adalah bagian dari hibriditas Indonesia. Biarkan hibriditas itu tetap terjaga dan menjelaskan identitas keindonesiaan dengan sendirinya.

Yogyakarta, 4 Agustus 2015.

*Aris Setyawan. Etnomusikolog. Penulis lepas.

Daftar Pustaka:

Djohan. 2009. Psikologi Musik. Yogyakarta: Best Publisher.

Heryanto, Ariel (ed). 2012. Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: Jalasutra.

__________. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: KPG.

Khan, Hazrat Inayat. 2002. Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.

Taufiqurrahman, M. 2012. Dangdut’ The Collateral Damage In The Gaga Saga. The Jakarta Post, Jum’at 9 Juni 2012.

Wallach, Jeremy. 2008. Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia. 1997-2001. Wisconsin, Amerika: The University of Wisconsin Publisher.

Weintraub, Andrew. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

TaggedAriel HeryantobudayadangduthibriditasidentitasindonesiapolitiksosialTemon Holictradisi


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan