Hikayat Haji Noise

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underartmusicmusik

Ada satu julukan yang disematkan para karib kepada Martinus Indra Hermawan alias Indra Menus: haji noise. Dalam Islam, haji adalah tingkatan ibadah yang prestisius, menempati posisi terhormat dalam rukun Islam. Mereka yang menyandang gelar haji berarti telah paripurna dengan empat pilar rukun Islam lainnya. Maka, gelar haji noise adalah semacam level tertinggi yang telah dicapai Indra Menus, artinya ia sudah paripurna dengan ibadah noise.

Bagaimana tidak? Menus telah menjadi pegiat sekaligus penggiat musik noise. Ia menjadi pegiat bersama To Die dan beberapa proyek eksplorasi bunyi lainnya. Ia manjadi lakon, pelaku, musikus dalam ibadah eksplorasi bunyi. Panggung demi panggung yang ia jajal adalah altar peribadatan, tempat ia mengamalkan ibadah eksplorasi bunyi dengan khusyuk dan sebaik-baiknya.

Menus juga menjadi penggiat dengan menginisiasi beberapa perhelatan eksplorasi bunyi. Di tangan Menus—dan karibnya—noise yang sebelumnya tergolong sangat segmented, underrated sekaligus underdog, tiba-tiba bisa mendapatkan tempat khusus dalam kancah musik Indonesia. Sebut saja perhelatan Jogja Noise Bombing sebagai contoh. Perhelatan yang saban tahun makin dinanti oleh khalayak. Tidak mengecilkan peran banyak orang yang terlibat di proyek itu memang. Namun, tidak bisa dimungkiri, Indra Menus memiliki peran sentral sebagai penggiat dalam menoisekan masyarakat dan memasyarakatkan noise.

Maka, ketika akhirnya Indra Menus menerbitkan buku bertajuk Pekak! Skena Eksperimental Noise di Asia Tenggara dan Jepang ini. Saya menyambut dengan sangat antusias. Buku yang merupakan rangkuman penelitian ini menarik karena seperti saya sebutkan tadi: penulisnya adalah insider, orang dalam, pegiat sekaligus penggiat. Di satu sisi, buku ini sangat personal karena penyusunnya bak sedang menuliskan diary sepak terjangnya melakoni hidup sebagai penjelajah bunyi. Di sisi lain, bicara perkara ilmiah dan metodologi penelitian, buku ini sangat sahih karena Menus menjalankan metode kualitatif dalam penelitiannya.

Buku ini seharusnya dapat membantu menjawab sebuah pertanyaan yang terus menerus berkelindan di perkara musik noise: apakah noise dapat digolongkan dan disebut sebagai musik? Hikayat hidup sang haji noise dan keputusannya menerbitkan buku hasil penelitian bisa menjadi jawaban, atau justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih menantang nalar kita dalam memaknai noise sebagai musik.

Meminjam gagasan Michael Denning dalam bukunya Noise Uprising, kita dapat memaknai noise sebagai musik apabila kita telah melepaskan atau membuang jauh-jauh pemahaman bahwa musik harus selalu indah, rupawan, dan rapi. Yang terpenting dari musik adalah perkara bunyi, getaran frekuensi yang menggetarkan gendang telinga, lalu menjadi datum yang diterjemahkan sebagai kesan oleh otak. Musik adalah sistem tanda yang diciptakan manusia untuk mengeksplorasi bunyi tersebut. Itulah kenapa ada begitu banyak musik yang berbeda di seluruh dunia. Kenapa ada doremi diatonis atau ji ro lu mo nem pentatonis a la pelog Jawa. Karena semua itu hanya sistem tanda yang disusun lalu disepakati secara konsensus. Maka, noise adalah sistem tanda lainnya.

Bicara teknis musikal, ia tidak mematuhi pakem standar sistem tanda yang telah mapan, ia membikin sendiri sistem tanda itu. Lebih lanjut, bicara agak filosofis, musik noise dan eksplorasi kebisingannya adalah semacam pengingat bahwa ternyata tidak pernah ada yang namanya total silence. Bunyi akan selalu ada di setiap lini kehidupan manusia. Barangkali, musik noise kemudian dapat dimaknai sebagai sebuah pengingat bahwa mumpung masih hidup, kita harus mengekplorasi bunyi dan bising sebanyak mungkin. Karena di kehidupan setelah kematian, barangkali akan sangat sunyi dan sepi. Walau tentu wallahualam, tak pernah ada yang tahu pasti kondisi total silence pascaanumerta itu ada atau tidak.

Buku Pekak! Skena Eksperimental Noise di Asia Tenggara dan Jepang ini penting karena sepengetahuan saya ini adalah rintisan literatur pertama yang mengulas kancah noise Asia Tenggara dan Jepang. Kalau toh buku ini tak bisa menjawab pertanyaan definisi noise sebagai musik, setidaknya buku ini menjadi trigger, pemicu yang memantik diskusi lanjut, agar ada lagi penelitian yang komprehensif mengupas tuntas gerakan dadaisme bunyi a la musik noise ini.

Selamat pecah telur untuk sang haji noise Indra Menus. Selamat membaca untuk kita semua. Semoga semua orang mabrur dalam peribadatan eksplorasi bunyi dan ruang personal masing-masing.

Yogyakarta, 22 September 2017.

Tulisan ini merupakan pengantar untuk buku Pekak! Skena Eksperimental Noise di Asia Tenggara dan Jepang karya Indra Menus.

Taggeddadaismdadaismeexperimental musicindra menusMusicnoisenoise music


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan