Gojira dan Antroposentrisme

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted undercultural studiescultureethnomusicologyetnomusikologimusicmusikulasan

Metal. Sebuah genre musik yang bisa dibilang segmented, digemari oleh orang-orang pilihan yang karib disebut metalhead. Jenis musik ini adalah sebuah lanskap tepat untukmu menyalurkan kemarahan dalam diri. Sebuah media katarsis yang sempurna untuk meluapkan segala gundah dan gulana. Metal adalah musiknya para penggelisah. Metal adalah pengejawantahan segala rasa gelisah.

Dunia ini sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Bayangkan: kita sudah babak belur dihajar sergapan virus corona dan sakit COVID 19 yang ujungnya nggak ketahuan kapan bakal berhenti. Belum lagi resesi ekonomi yang kian menghantui bakal mencengkeram dunia di kuartal ketiga 2020 ini. Jangan lupakan bagaimana perpolitikan di tanah air yang berengsek benar: mulai dari wacana Omnibus Law, sampai cara pemerintah menangani pandemi yang sungguh centang perenang.

Kondisi dunia yang carut marut ini sontak bisa bikin kita marah, frustrasi, dan depresi. Bagi saya pribadi, musik metal menjadi katarsis untuk menyalurkan segala perasaan negatif tersebut. Dan secara spesifik, saya memilih satu band metal yang intens saya dengarkan belakangan ini: Gojira.

Sebagai seorang drummer, salah satu alasan kenapa saya suka banget band asal Perancis ini tentu saja adalah sang drummer Mario Duplantier. Penabuh drum ini adalah mesin berkedok manusia. Permainannya pas, tidak terlalu banyak menerapkan teknik blast beat yang umum dimainkan di band technical death metal. Stamina Mario Duplantier benar-benar luar biasa. Sekalipun menabuh drum dengan tingkat virtuoso yang kuat dalam waktu lama, ia tak terlihat keteteran dan kelelahan sedikitpun.

Simak video penampilan langsung Gojira membawakan lagu “Where Dragons Dwell” ini. Selama lebih dari 3 menit, Mario secara konstan dan presisi memainkan double pedalnya dengan mantap. Ditingkahi dengan suara riff berat gitar dan bass, penonton pun menggila dan membuat wall of death yang brutal dan cadas.

Tetapi tentu saja bukan hanya Mario yang membikin saya jatuh cinta dengan band metal yang sempat menjadi nominee Grammy Awards ini. Gojira sendiri merupakan sebuah anomali. Dalam dokumenter tentang extreme metal bertajuk Metal Evolution: Extreme Metal, antropolog dan filmmaker Sam Dunn menyebut Gojira sebagai band yang unik karena berasal dari Perancis, negara yang gaung kancah death metalnya tidak terlalu kentara.

Gojira unik karena musiknya yang progresif. Dalam pendengaran saya, ada banyak syncopation nyeleneh nyempil di tengah aransemen yang bikin kesan off-beat. Lagu mereka ditingkahi dengan riff berat dua gitar dan satu bass, Teriakan lantang sang vokalis Joe Duplantier, dan tentu saja lirik lagu yang banyak bercerita tentang environment alias lingkungan.

Gojira tidak banyak bicara hal-hal mistis, gore, subversif, satanis, atau tipikal topik metal lainnya. Alih-alih Gojira malah bicara tentang sampah plastik yang mengotori lautan, kemungkinan buruk matinya ibu bumi karena tingkah manusia, dan kemarahan lainnya terkait bencana ekologi yang dipicu ulah manusia.

Melalui metal, Gojira menyentil apa yang dalam kajian filsafat lingkungan akrab dikenal sebagai antroposentrisme. Dalam gagasan ini, manusia dapat disebut sebagai makhluk antroposentris. Makhluk yang merasa memiliki harkat dan derajat lebih tinggi dari makhluk lain di lingkungan. Karena merasa punya privilese ini, maka jadilah manusia bebas mengeksplorasi (baca: mengeksploitasi) segala kekayaan alam dan lingkungan. Sampai segalanya rusak luluh lantak.

Gojira, melalui corong sang vokalis Joe Duplantier dan teriakan growl lantangnya secara langsung tanpa tedeng aling-aling menyentil perilaku antroposentris ini. Bahwa manusia dan segala privilese yang dimilikinya seperti akal budi dan kemampuan berbahasa, adalah ancaman berbahaya bagi keberlangsungan alam dan lingkungan yang sustainable. Atau dalam bahasa yang lebih kasar: manusia sebenarnya adalah kanker yang menggerogoti dan merongrong tubuh Sang Ibu Bumi.

Gojira dan musik metalnya adalah kritik pedas terhadap bagaimana salah kaprah terjadi, bahwa manusia sesungguhnya bukanlah pusat dari alam semesta. Bagi saya pribadi Gojira berhasil membangkitkan kesadaran personal saya dalam memaknai posisi manusia di keluasan semesta yang tak tepermanai ini: kita hanyalah sebuah noktah kecil di kerumunan. Tak elok nian rasanya merasa jemawa dan paling istimewa kemudian suka-suka menggerogoti sumber daya alam sampai titik darah penghabisan.

Kembali ke tetek bengek bagaimana saya sebagai seorang drummer sangat mengagumi Mario Duplantier. Iya saya pernah bilang kalau saya suka banget sama drummer metal dari band Nile, George Kollias. Namun, saya juga suka dan cinta mati dengan gaya drumming Mario. Karena George dan Mario adalah mesin yang berbeda dalam satu kendaraan metal yang sama. Anggap saja terkadang kita membutuhkan salah satu mesin untuk kondisi medan tertentu. Mesin George Kollias cocok untuk medan berat, sementara Mario cocok untuk segala medan. dan keduanya ampuh.

Akhir kata, saya mau menutup tulisan ini dengan mengutip lirik dari lagu “Another World” karya Gojira: “Hope for the world but prepare for the worst. I’d rather find a way on my own. Another world. Another place to be. Other world. A new place for me.”

Premis dari lagu terbaru Gojira ini jelas: lebih gampang membayangkan untuk berpindah mencari dunia baru untuk tempat tinggal kita ketimbang mengurai kusutnya kerusakan ekologi akibat ulah kita sendiri selama beberapa dekade belakangan.

Bait lirik lagu Gojira itu menggetok batok kepala saya dengan pertanyaan: apakah iya sudah tidak ada solusi lagi untuk menyelamatkan dunia ini? Apakah mencari dunia lain untuk kita tinggali adalah satu-satunya solusi yang tersisa?

Atau, sebenarnya kita masih mampu menyelamatkan dunia ini dan mendiaminya sekarang dan hari esok? Kita masih bisa menyelamatkan dan mewariskan bumi yang indah ini untuk anak dan cucu kita?

Begitulah. Sekarang mari kembali mendengarkan Gojira dan melampiaskan kemarahan, gundah gulana, dan rasa nestapa. Pandemi bikin konser-konser tak bisa dilakukan, praktis saya tidak bisa melampiaskan amarah dengan moshing atau stage diving di gigs. Maka, biarlah saya headbanging saja di kamar sembari mendengarkan diskografi Gojira.

Sekian.

Taggedantroposentrisantroposentrismegojirajoe duplantiermario duplantiermetal


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan