(Dimuat di majalah Kombinasi edisi 52 tahun 2014)
(Dimuat di Majalah Kombinasi edisi 52 tahun 2014)
Ada presiden pertama Indonesia Soekarno yang tengah berpidato dengan berapi-api. Menceritakan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu indah dengan segala kelebihannya berupa kekayaan alam, dan kondisi damai tenteram sejahtera yang melingkupinya. Ini adalah adegan pembuka dari sebuah film dokumenter berjudul Children of a Nation . Pembuka yang cukup indah untuk menggambarkan zamrud Khatulistiwa. Namun kemunculan Soekarno di awal film yang disutradarai Sakti Parantean ini adalah ironi. Karena setelahnya film sepanjang lebih kurang 90 menit ini menghadirkan gambaran Indonesia yang lain. Indonesia yang tak lagi indah dan damai seperti yang dituturkan sang proklamator. Indonesia yang karut marut dan riuh dengan kebencian. Terutama saat diselenggarakannya sebuah momen 5 tahunan yang sering disebut sebagai ‘pesta demokrasi.” Momen itu adalah pemilu, saat semua orang seperti menjadi musuh bagi orang lain.
Children of a Nation (CoaN) adalah film dokumenter yang mengisahkan mengenai apa saja yang terjadi di Indonesia selama masa pemilu. Menceritakan pemilu di Indonesia sejak pemilihan umum pertama, namun fokus utama CoaN adalah pemilu 2009 karena itulah pemilu yang paling dekat dengan kita sekarang. Pemilu 2009 yang menentukan nasib Indonesia sampai pemilu berikutnya tahun 2014.
CoaN menghadirkan bagaimana sepak terjang para politisi dan parpol selama pemilu 2009. Ada sebuah rekaman saat gunung sampah di Bantar Gebang mendadak berwarna-warni dan meriah saat dimana Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subianto mendeklarasikan bahwa mereka berkongsi menjadi capres dan cawapres. Kemudian stadiun Gelora Bung Karno yang membiru oleh warna partai yang diusung SBY-Boediono saat mereka memutuskan ikut kompetisi menjadi pemimpin negeri. Ada pula adegan deklarasi JK-Wiranto. Meskipun sempat dihadirkan rekaman pendokumentasian deklarasi kampanye damai dimana seluruh politisi dan parpol peserta pemilu 2009 berkumpul dan menyatakan akan berkompetisi dengan damai. CoaN mampu
menghadirkan sesuatu yang tersembunyi dibalik selimut semu damai itu: ada persaingan sengit yang nyata untuk memperebutkan kuasa tertinggi di Indonesia. Dan setiap yang berkompetisi dalam pemilu itu akan melakukan segala cara untuk menjadi pemenang.
Sakti Parantean menghadirkan fakta cara-cara para politisi untuk menjadi pemenang tersebut yang menegaskan begitu banyak kecurangan- kecurangan terjadi selama pemilu 2009. Mulai dari partai-partai yang menyalahi aturan kampanye dengan iklan-iklan di TV yang dirancang sedemikian rupa sehingga nampak bukan seperti sedang berkampanye. Temuan
kejanggalan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dimana banyak nama ganda. Ada pula parpol yang mengakali tenggat waktu kampanye publik dari KPU dengan cara menjajah ranah internet seperti Facebook. Seolah-olah demi kemenangan mutlak segala cara dianggap halal dalam politik.
CoaN menyoroti bahwa sebagian besar politisi yang ikut pemilu adalah muka lama. Mereka yang memang sudah berkecimpung lama dalam dunia politik. Hal ini mengkhawatirkan karena tak akan pernah ada regenerasi calon pengurus Negara. Jabatan-jabatan penting selalu dipegang orang lama, yang saat masa jabatan hampir habis akan menurunkannya pada kroni atau keluarga. Inilah buruknya
perpolitikan negeri, adanya oligarki atau pemusatan kekuasaan politik pada satu golongan. Kaderisasi penerus politik yang buruk ini terlihat dari perekrutan petinggi
sebuah parpol yang ternyata adalah anak dari pendiri parpol itu. Praktis kekuasaan hanya akan berputar disitu, tak pernah ada kesempatan bagi orang lain yang berkualitas untuk ikut masuk. Muka-muka lama dalam pemilu ini juga disinyalir memiliki rekam jejak buruk sepanjang sejarah. Diantaranya pelanggaran HAM dan korupsi semasa orde baru. Ya, mereka sukses mengubur rekam jejak buruk masa lalunya lalu ikut berpolitik kembali.
Opini masyarakat dalam menyikapi pemilu coba digambarkan dengan menyoroti 2 sosok sepanjang film. Yang pertama adalah seorang sekretaris perusahaan swasta bernama Neni Triyani. Neni mewakilkan kelas menengah ke-atas dalam masyarakat Indonesia. Yang bekerja di kantor dan memiliki penghasilan diatas rata-rata. Ketika ditanya seperti apa calon pemimpin yang baik untuknya, Neni menyatakan yang ganteng dan berwibawa seperti SBY. Ia tak mau punya presiden yang
mempunyai kekurangan fisik seperti Gus Dur.
Melalui sosok Neni, Sakti Parantean seolah berusaha mengatakan inilah opini masyarakat kelas menengah ke atas mengenai politik: pencitraan rupawan adalah segalanya. Berseberangan dengan sosok kedua, seorang pemilik warung makan kecil sekaligus
simpatisan partai banteng merah bernama Sunarti. Sunarti menyatakan setia pada partai merah karena kecintaannya pada Soekarno sang proklamator. Ia anggap partai itu dekat dengan wong cilik, dan sampai mati akan
membelanya. Inilah politik bagi kelas menengah kebawah: pencitraan merakyat adalah segalanya.
CoaN mempertanyakan sebuah wacana dalam fenomena pesta demokrasi ini: sebenarnya demokrasi itu untuk siapa? Benar-benar untuk rakyat? Atau untuk elite politik yang punya akses untuk berkompetisi dalam pemilu? Karena dalam setiap pemilu, mereka yang bertarung sebenarnya adalah para elite yang nampak begitu tinggi tak tergapai rakyat jelata. Rakyat hanya punya kekuatan 5 menit dalam bilik (mencoblos) kemudian pasrah pada apapun kebijakan pemimpin yang dipilihnya selama 5 tahun ke depan. Pesta demokrasi (politik) bagi mereka hanya tontonan mewah dalam media yang paling populer di Indonesia: televisi. Apakah demokrasi ini juga untuk mereka?
Children of a Nation (CoaN) adalah film dokumenter yang bagus untuk memberi pemahaman rakyat tentang pemilu dan politik. Terlebih jelang pemilu tahun 2014. Pemilu yang menjadi bukti nyata apapun yang coba disampaikan CoaN: orang orang lama dalam dunia politik kembali menguasai pesta demokrasi ini. Tak ada calon pemimpin baru. Namun ada kekurangan yang sangat disayangkan dari CoaN: kesulitan mengakses film ini karena sementara hanya diputar untuk festival film. Dan entah atas tujuan apa CoaN dibuat dengan narasi berbahasa inggris. Sekalipun isi dari film ini amat bagus, namun akan lebih baik jika distribusinya bisa menyentuh rakyat (kelas menengah ke bawah) dan dibuat dengan bahasa Indonesia. Atau patutkah kita bertanya: film (tentang demokrasi) ini dibuat untuk siapa? Kelas menengah ke atas yang mampu hadir ke
festival film? Atau rakyat (kelas menengah kebawah) Indonesia yang konon dibela hak politiknya dalam film ini?
Yogyakarta, 2 april 2014.
Aris Setyawan: Mahasiswa tingkat akhir jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan, Ketua KKM Keilmuan Etnomusikologi, penulis lepas di beberapa media, pernah bermain drum di band folk Aurette and The Polska Seeking Carnival, inisiator gerakan peduli anak jalanan Save Street Child Jogja. Penggila baca, pemuja
kucing, berharap semoga suatu hari Radiohead konser di Indonesia. Tulisan lainnya dapat dibaca di http://
arissetyawanrock.wordpress.com. Dapat dihubungi melalui twitter @arissetyawan atau
email [email protected]