Saya berpikir bahwa peradaban manusia belakangan ini mengalami gonjang-ganjing. Gonjang ganjing dan perang yang setidaknya dipicu oleh dua hal: Manusia berperang satu sama lain karena terjebak dalam kalang kabut keagamaan dan kalang kabut kebudayaan. Kalang kabut ini dapat dilihat misalnya dalam kasus bagaimana negara-negara dunia berperang. Blok barat yang dianggap sekuler dianggap selalu mensubordinasi negara timur tengah atau negara timur yang mengedepankan agama atau spiritualitas sebagai ideologinya. Invasi Amerika ke Irak kemudian dianggap sebagai peperangan antara haluan agama yang berbeda, setali tiga uang dengan invasi Israel ke Palestina. Yang kemudian melahirkan ISIS dan banyak gerakan radikal lain yang ditahbiskan sebagai pertahanan terakhir kaum agama melawan negara sekuler. Gerakan yang lantas banyak diadaptasi di Indonesia oleh mereka yang merasa negara kepulauan ini menjadi bulan-bulanan kaum sekuler, maka harus mengalami proses purifikasi dengan cara mengenyahkan benih-benih sekularisme itu dan menjadikan jargon khilafah is the only solution sebagai pedoman penyelamat.
Untuk mereka yang mempelajari ilmu hubungan internasional, atau setidaknya pernah membaca sekilas gagasan Noam Chomsky, serta menyimak kajian-kajian mengenai hubungan internasional yang disematkan dalam film atau buku (yang lumayan ngepop) seperti Fahrenheit 9/11 Michael Moore atau The Corporation Joel Balkan, pastinya cukup tahu bahwa gonjang ganjing peradaban ini bukan semata karena adanya manusia yang berperang demi Tuhan. Entah bagaimana, motif peperangan antar negara ini bisa nampak seolah dipicu oleh sentimen agama. Padahal di baliknya ada skenario lain yang lebih bersifat ekonomis: manusia berperang demi minyak.
Energi adalah kebutuhan fundamental untuk menggerakan peradaban. Dan minyak atau bahan bakar fosil adalah energi yang menyokong peradaban ini. Sudah sejak lama umat manusia menyadari bahwa energi fosil tidak terbarukan dan suatu saat akan habis. Ini yang menyebabkan minyak dan produk turunan bahan bakar fosil lainnya begitu mahal dan berharga. Setiap negara yang mendominasi kepemilikan bahan bakar fosil ini dapat dipastikan akan digdaya. Maka dimulailah peperangan antar negara dalam rangka memperebutkan dominasi total akan sumur-sumur minyak, dengan kedok berperang demi Tuhan disematkan agar peperangan ini nampak sebagai perang suci antara yang baik melawan yang jahat.
Saya membayangkan sebuah skenario ketika suatu hari bahan bakar fosil kita benar-benar habis. Manusia harus segera mencari sumber energi lain untuk menyokong kehidupan. Dalam Cosmos: A Spacetime Oddysey, fisikawan Neil deGrasse Tyson menjabarkan fakta bahwa manusia sebenarnya memiliki opsi sumber energi yang begitu berlimpah dan bahkan gratis: panas matahari. Energi surya ini gratis karena selama matahari masih bersinar ia bisa diserap, diolah, dijadikan energi untuk kehidupan. Tapi entah kenapa manusia tidak memanfaatkan sumber energi gratis ini. Bahkan tidak memulai pengembangannya secara optimal sejak awal saat sumber energi fosil sudah terdeteksi akan habis. Tenaga surya sekarang hanya menjadi sebuah sumber energi yang tidak terlalu populer. Dalam pemahaman saya ini tentu terkait dengan dominasi kepemilikan energi seperti yang kita bicarakan di atas. Jika panel solar dikembangkan dengan baik, kemudian mampu digunakan oleh semua manusia secara gratis, maka ini akan menjadi bencana bagi segelintir manusia yang sebelumnya menjadi penguasa dalam jual-beli energi yang tidak terbarukan. Kelangkaan adalah kunci agar harga sebuah barang bisa menjadi mahal. Alih-alih mengembangkan energi yang gratis dan tidak akan habis, para ilmuwan kacung korporasi lebih memilih mengembangkan sumber energi lain yang bisa dikontrol stoknya agar harga tetap mahal. Demi memperkaya tuannya para korporat yang bahkan mampu menyetir kebijakan sebuah negara melalui corporate agenda.
Mari kita lanjutkan skenario imajinasi saya tentang habisnya bahan bakar fosil pada suatu hari nanti. Entah bagaimana, di suatu negara yang cukup maju, tiba-tiba ada seorang ilmuwan yang mengembangkan energi bio gas dengan bahan pokok kotoran manusia atau eek. Bio gas dari eek manusia memang sudah dikenal sejak lama. Sudah dimanfaatkan juga namun masih dalam skala kecil misalnya untuk kompor masak. Nah sang ilmuwan jenius itu (sebut saja namanya Fulan) berhasil mengembangkan teknologi yang mampu memproduksi energi bio gas dalam skala massal. Sehingga bio gas tidak dimanfaatkan untuk bahan bakar memasak di kompor. Bio gas eek manusia ini juga mampu menggerakkan turbin-turbin raksasa dalam PLTE, Pembangkit Listrik Tenaga Eek untuk menghasilkan listrik bagi peradaban. Dan sebagainya, dan seterusnya.
Akhirnya manusia melupakan minyak dan bahan bakar fosil yang memang sudah habis. Mereka beralih ke bio gas. Dan tiba-tiba eek manusia menjadi materi yang sangat berharga dan menjadi rebutan. Negara yang paling digdaya adalah mereka yang memiliki stok eek paling besar. Barangkali China dan India akan cukup digdaya karena jumlah penduduk negara mereka paling banyak kan. Semakin banyak penduduk berarti semakin banyak jumlah eek yang diproduksi. Indonesia mungkin juga tidak perlu pusing memikirkan sumber energi lagi karena 200 juta lebih penduduk tentu mampu menghasilkan begitu banyak feses untuk diolah di PLTE. Membuang hajat di Ciliwung dan kali besar lainnya akan makin dilarang karena eek yang begitu berharga pantang dibuang, harus dikumpulkan untuk disetorkan ke PLTE. Demi melancarkan program surplus energi yang dijalankan oleh pemerintah.
Penemuan teknologi pengolahan eek menjadi energi ini bukan berarti tanpa masalah. Sama persis dengan kondisi saat manusia masih menggunakan minyak, entah bagaimana peperangan tetap terjadi. Negara-negara saling berlomba menjadi yang paling digdaya, berusaha menguasai stok terbanyak eek agar menjadi yang paling berkuasa. Mulailah negara satu menginvasi negara lain demi memperebutkan SDE, Sumber Daya Eek. Selain invasi langsung dengan cara mengebom negara sasaran yang dituding sebagai sarang teroris, negara adidaya ini juga melakukan muslihat yang lebih halus. Yakni dengan menggelontorkan hutang kepada negara berkembang melalui lembaga-lembaga donornya. Lalu menjebak negara berkembang itu agar menuruti agenda mereka, menyetir kebijakan negara berkembang itu agar menyetorkan setiap sumber daya eek kepada negara adidaya. Negara berkembang yang sebenarnya punya banyak sumber daya ini tentu tak punya pilihan lain dan harus menurut karena mereka terlilit utang yang luar biasa besar. Inilah episode selanjutnya dari gonjang ganjing peradaban manusia. Peperangan terus terjadi, demi memperebutkan sumber energi.
Semoga imajinasi gila di atas sebatas produk pikiran cupet saya yang tidak akan menjadi nyata. Tapi tidak dapat dipungkiri, beberapa tahun belakangan kita sudah kalang kabut karena berebut sumber energi minyak. Kita sudah berperang demi Tuhan, berperang demi minyak. Coba bayangkan betapa konyolnya jika beberapa tahun ke depan kita sesama umat manusia harus berperang demi eek?
Yogyakarta, 25 November 2014.
PS: Santai aja ya mz, mb. Tulisan di atas bisa dianggap serius bisa dianggap becanda. Namanya juga random thought kok. Piss, love, and gaul 😀