Sudah menonton film Annihilation dan Ex Machina? Jika sudah, tentu musik scoring kedua film itu akan menghantuimu. Bunyi-bunyi ambience yang terdengar asing–atau absurd–dan muram. Sosok yang bertanggung jawab atas bebunyian asing tersebut adalah Geoff Barrow, komponis dan multi-instrumentalist dari Portishead.
Portishead adalah sebuah anomali. Band ini bisa disebut sebagai band mitos. Sebabnya? Adalah sedikitnya exposure tentang mereka di industri musik. Sepanjang karir mereka dalam kurun waktu 20 tahun, mereka hanya merilis 3 album penuh (Dummy, Self-Titled, Third) serta sebuah album live di Roseland New York. Jarak antara tiap album pun merentang cukup jauh. Secara khusus patut dibahas album Third. Album yang pada tahun ini genap berusia 13 tahun.
Tidak dapat dimungkiri, Portishead adalah salah satu pionir yang ikut menggenjot ketenaran musik trip-hop pada periode 90an. Mulanya Portishead banyak bermain dengan turntable dan loops elektronik di album awalnya. Third sangat berbeda. Meski masih melekatkan formula down-tempo dan loop-loop elektronik, album ini juga menyelipkan instrumen konvensional seperti drum, gitar, hingga ukulele. Namun, semua instrumen itu dimainkan dengan cara yang tidak biasa. Third, boleh disejajarkan–atau melampaui–eksperimentasi yang digadang-gadang Radiohead atau Björk.
Padu-padan antara bebunyian yang digarap Geoff Barrow, dan suara magis penuh kharisma Beth Gibbons di album Third terdengar indah tak tepermanai. Dengarkan Third di kamar dengan penerangan temaram, maka bulu kuduk akan merinding tak tertahankan. Beth Gibbons adalah seorang penyanyi yang memiliki pita suara magis. Karakter suaranya unik, dan ia ber-attitude “suka-suka gue” tiap manggung. Tidak ingin terlihat hot atau glamour (Cek “Glory Box” live at Roseland di kanal Youtube. Beth bernyanyi sembari memegang rokok dan menghisapnya sesekali).
Dalam album ini, Portishead banyak berbicara mengenai hasrat dan perasaan terasing. Misalnya dalam lagu “Magic Doors” ( dengan petikan lirik “I’m losing myself, my desire I can’t hide”), atau “The Rip” yang dinamikanya berubah dari pelan menuju nyaring. Namun, tak hanya ihwal hasrat yang mereka tunjukkan. Rentetan loop dengan ritme mirip bunyi senapan mesin dalam “Machine Gun” menunjukkan sikap politik mereka. Dalam penampilan mereka di Glastonbury 2013, rangkaian slideshow tentang kondisi sosial-politik dunia melengkapi kegaharan lagu tersebut.
Saya sangat menyukai album ini. Selain eksperimentasi musik Geoff Barrow dan suara magis Beth Gibbons, ada satu hal yang menjadikan saya jatuh cinta dengan album ini: Clive Deamer. Penabuh drum botak yang juga menjadi tandem ritmis untuk Radiohead sejak album The King of Limbs. Deamer adalah bukti nyata bahwa pola drum “simple” tapi “nge-groove” itu juga menarik. Ia tak pernah menabuh pola drum yang rumit. Namun, ada sesuatu yang intens dari caranya menabuh drum, sesuatu yang tak bisa saya jelaskan dengan kata-kata.
Bagi yang masih asing dengan band asal Inggris ini, sila dengarkan terlebih dahulu lagu dari album pertama mereka, misalnya “Glory Box” atau “Roads”. Setelah itu, dengarkan album Third! Akan kentara perbedaan rasanya.
Bagi saya pribadi, Third telah berhasil menyuarakan apa-apa yang menjadi kegelisahan pribadi saya belakangan ini: tentang hasrat, keterasingan, kesepian, dan perkara mental lainnya yang tak kasat mata namun ada. Third adalah teman baik untuk melamunkan nasib, perihal transendental, dan tentunya sembari harap-harap cemas kapan Portishead menelurkan album keempat mereka.
Track yang direkomendasikan dari album Third: “Hunter“, “The Rip”, “Machine Gun“, “Magic Doors“, “Threads“.
PS: tulisan ini dibuat atas masukan dari beberapa kawan yang menganjurkan agar saya mengurangi tulisan tetek bengek hantu-hantu gaib dan mulai menulis lagi sesuatu tentang musik.