#ArisRead2020

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Posted underbookcriticcultural studiescultureilmu budayakritikmusicmusikreview
Ulasan pendek dari beberapa buku yang saya baca hingga pertengahan 2020 ini.
Aliyuna Pratisti – Madness Belong To All: Catatan Ganjil Musik Abad 20

Salah satu kelebihan Aliyuna Pratisti adalah bekal berbagai wacana keilmuan yang ia miliki sangat luas, Wajar jika di buku ini, pengajar ilmu Hubungan Internasional ini bisa membicarakan kelindan antara musik dengan berbagai gagasan dengan sangat apik. Semuanya dipaparkan dengan porsi yang pas, tidak berlebihan. Kita disuguhi pemaparan tentang nihilism, gerakan avant-garde dan dadaism, sampai ke perkara spiritualitas di buku ini.

Yang menarik dari “Madness” adalah: buku ini merupakan preferensi pribadi sang penulis yang tergila-gila dengan “musik-musik jadoel”. Pratisti menguliti musik-musik underrated dan underdog yang menjadi zeitgeist alias semangat zaman pada masanya. Kita akan menemukan bahwa Pratisti gandrung sekali dengan blues, jazz, punk-rock, krautrock, hingga musik-musik avant-garde dan eksperimental yang kerap dianaktirikan oleh media arus utama.

Masing-masing tulisan tidak terlampau panjang. Namun, terasa begitu pepat dan padat dengan gagasan. Pasca-membaca tiap tulisan, saya bolak-balik mengetik nama musisi yang disebut di Spotify agar dapat mendengarkan musik yang ia rekomendasikan.

Sepertinya saya punya penulis musik baru yang saya idolakan: Aliyuna Pratisti. Melalui bukunya, saya kembali merefleksikan bahwa dalam semesta musik, ada garis tipis antara kegilaan dan kecerdasan.

Ellen Willis – Out of the Vinyl Deeps: On Rock Music

The world of music criticism is a masculine world. At least as short as my knowledge. The music critics are male-dominated world.

There are many female musicians, but why is it difficult to find writing that reviews the work of female musicians? Or why is it so difficult to find women who write music?

Why do gender themes need to be addressed when discussing music criticism? In my opinion, because like other cultural products, more or less music also represents the values ​​prevailing in the society where it was born. Therefore, looking at gender aspects in music is not only interesting but also important to do.

In the midst of this masculine world of music criticism, Ellen Willis is a breath of fresh air. Ellen is a pioneer of female music criticism. You could say she was the first woman to plant the foundation of the tradition of women writing music criticism. She write regularly as a columnist on New Yorker. She cover a wide range of artists: Bob Dylan, The Who, David Bowie, Janis Joplin, etc.

This book is a collection of Ellen’s critical writings. Ellen skinned the music that grew in the 60-70s. Ellen’s writing style of criticism is very pleasant to read. Light, but striking. Thoughtful, sharp, ecstatic.

Reading Ellen Willis’s work makes me think: there is a lot that needs to be done to present a gender perspective in music. I think if this is considered as an unimportant thing by music critics, music criticism will continue just like that: masculine, male-dominated.

Isaac Bashevis Singer – Kafetaria

Kenapa kita menulis fiksi? Mungkin karena terkadang realita itu terlampau rumit untuk dipahami secara lawaran apa adanya. Atau, realita itu terlampau menyesakkan dada karena sebagaimana Albert Camus bilang: terlampau absurd.

Fiksi memberi kita ruang yang bebas sebebas-bebasnya untuk menerjemahkan realita. Dengan permainan kata-kata, otak-atik bahasa, fiksi menjadikan kita lebih mudah mencerna segala tetek bengek baik dan buruknya realita.

Isaac Bashevis Singer adalah contoh dari apa yang saya bilang di atas. Segala realita yang ia ceritakan sebenarnya terlampau getir. Tentang warga keturunan Yahudi yang harus terombang-ambing oleh zaman, harus bermigrasi dari satu negara ke negara lain karena kejumudan berpikir salah satu ras (sebut saja Arya) yang mendaku diri paling digdaya.

Singer menggubah kisah kepahitan peperangan atas nama dominasi total keunggulan ras. Kisah perang, manusia yang terpinggirkan, tentu merupakan sebuah realita yang terlampau pahit untuk ditelan mentah-mentah tanpa kapsul bersalut gula. Maka, jadilah Singer membalut realita itu dengan permainan kata-kata: fiksi.

Sebuah kumpulan cerpen yang layak kamu baca jika kamu suka dengan Albert Camus, Franz Kafka, atau filsafat Spinoza. Atau jika kamu ingin tahu bagaimana rasanya menjadi warga keturunan Yahudi yang terpinggirkan (baca: dibunuh pelan-pelan) oleh sejarah yang ditulis pemenang, buku ini akan menyuguhkan kisah-kisah itu.

Slavoj Žižek – Pandemic!: Covid-19 Shakes the World

Straight to the point about the inevitable COVID-19 pandemic. Zizek did not beat around the bush to talk about philosophical theories which were usually rigid and abstract. He spoke a variety of facts about Coronavirus and COVID-19, as well as its economic and political influence on the countries of the world.

What I like, Zizek still stand with his views on what happened in Gaza. Zizek seems stand with Palestinian. Zizek said that when Coronavirus arrived in the conflict area, Israel immediately helped Palestinians deal with COVID-19. Not in the context of humanity or recognizing Palestinian sovereignty. But more because Israel is afraid that outbreaks that are not controlled in Palestine will eventually also spread to Israeli territory.

Zizek’s view is interesting, he said that we are currently in the same boat, so we must help each other.

Book that is not too thick, only 100 pages, and can be finished reading in one sitting. Pretty helpful in understanding geopolitics in the midst of the COVID-19 outbreak.

Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power

In an interview on YouTube, Shoshana Zuboff, the author of this book, said that she never used Google in her daily life. For search engines, she prefers to use DuckDuckGo. Zuboff even uses Premium VPN services and TOR networks all the time to disguise her identity on the internet.

Why? Because Zuboff is avoiding what is called surveillance capitalism.

Zuboff specifically took the example of the internet giant Google as the main patron of the birth and development of surveillance capitalism. This new level of capitalism is different. According to Zuboff, if industrial capitalism grows and makes time labor value surplus as profit accumulation, surveillance capitalism collects what Zuboff calls “behavioral surplus”. This is our data, habits and behavior on the internet. All of that is a surplus collected by Google and other internet giants, to be traded for profit.

Zuboff further argues that surveillance capitalism has the same characteristics as industrial capitalism: it alienates people, makes the gap between the poor and the rich wider, and tries very hard to keep capital spinning.

And same as an industrial capitalism, surveillance capitalism is also waiting for its own death. Sooner or later capitalism, in any form, will dig its own grave.

Linsey McGoey – No Such Thing as a Free Gift: The Gates Foundation and the Price of Philanthropy

Ini adalah pertanyaan yang kerap muncul di dunia seni, seniman harus menghadapi sebuah pertanyaan tak terhindarkan: bagaimana kita mendapatkan uang untuk membiayai proses penciptaan karya kita? Tak peduli apapun bidang seninya: entah seni rupa, seni pertunjukan, seni media rekam, dan cabang seni lainnya, isu finansial adalah masalah besar. Karena menciptakan karya seni terkadang bisa menjadi sangat mahal, ia adalah proses yang membutuhkan biaya besar baik dalam hal pengadaan material seni, sumber daya manusia, atau perkara teknis lainnya. Ini belum kalau kita bicara nilai dari ide atau gagasan yang barangkali tak dapat dinominalkan.

Untuk membiayai karya seninya, kebanyakan seniman kemudian memiliki tiga opsi finansial: membiayai karya dengan uang pribadi mereka sendiri, minta bantuan suntikan dana dari pemerintah, atau membuat dan memasukkan proposal ke institusi filantropi. Di antara ketiga pilihan itu, masing-masing punya permasalahannya sendiri.

Pertama, untuk membiayai proses pembuatan karya dengan uang sendiri rupanya tidak semudah yang dibayangkan karena sebagian besar seniman—kecuali yang sudah settled atau mapan—tidak memiliki banyak uang.

Kedua, meski lembaga kepemerintahan memiliki alokasi dana/budget untuk pengembangan (baca: konservasi) ranah kesenian dan kebudayaan, birokrasi dalam pengajuan permohonan dana bisa bikin pusing tujuh keliling seniman. Sang seniman yang mengajukan proposal proyek karya seni mereka harus menunggu terkadang 6 bulan sampai 1 tahun untuk mendapatkan jawaban: apakah pemerintah akan membiayai karya mereka atau tidak. Bak menunggu Godot, seniman terkadang terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Ketiga, saat seniman tidak bisa membiayai karyanya karena tak memiliki uang tak terhingga, atau mereka frustasi dan tepok jidat oleh birokrasi pemerintah, mereka akan meminta bantuan kepada lembaga filantropi. Di sini, seolah filantropi menjadi mesias yang menyelamatkan keberlangsungan dunia seni. Mereka menjadi opsi terakhir yang paling masuk akal, dan paling tokcer. Maka, sebuah pertanyaan muncul: jika tidak ada filantropi atau lembaga donor, apakah seni bisa bertahan hidup?

Sebagaimana sosiolog Linsey McGoey paparkan dalam bukunya No Such Thing As a Free Gift, Secara etimologi, filantropi dapat dibaca sebagai sebuah tindakan memberi tanpa pamrih. Apa yang diberikan adalah “gift”, yang secara harfiah dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “hadiah”, atau “inayah”. Lebih jauh, jika secara etimologis kita melacak arti kata “gift” (dalam bahasa Inggris) itu, kita akan menemukan sesuatu yang menarik: bahwa “gift” memiliki makna ganda.


Ini seperti yang dijabarkan oleh filosof asal Perancis, Jacques Derrida. Kata “gift” dapat dilihat berdasar sebagai sejenis pharmakon: istilah Yunani dengan banyak makna, termasuk obat, racun, jimat, dan minuman keras. Maka, “gift” adalah tawaran bermata dua. Penerima biasanya merasa terikat untuk membalas “gift” itu, bisa dalam bentuk pembayaran nominal, atau hal lain. Di sini orang yang diberi “gift” diam-diam berpikir keras tentang bagaimana atau kapan pembayaran harus dilakukan. Dan ini dapat membuat hadiah lebih memberatkan daripada pertukaran ekonomi yang ketat dengan ketentuan yang jelas untuk pembayaran, bunga, dan sebagainya.


Itulah kenapa McGoey memberi tajuk No Such Thing As a Free Gift. Profesor sosiologi ini mendasarkan gagasannya dari definisi “pharmakon gift”. Dalam buku tersebut, McGoey menekankan benar hal ini: apakah filantropi benar-benar sebuah bentuk tindakan memberikan gift (baca: hibah dana) tanpa pamrih? Karena sebagaimana Derrida jabarkan, gift ini juga bisa diartikan sebagai racun. Artinya apa yang penerima hibah kira sebuah hadiah tanpa pamrih, sebenarnya adalah racun yang secara perlahan menggerogoti tubuhnya.

Dalam arti lain: cepat atau lambat, ketika seorang seniman menerima gift dari sebuah lembaga filantropi, ia tidak tengah menerima sebuah hadiah gratis. Alih-alih ia hanya semacam sedang berhutang, dan di suatu hari harus membayar balik apa yang diterimanya kepada lembaga filantropi.
Dari definisi McGoey dalam bukunya, kita dapat menyimpulkan bahwa kita patut menaruh sedikit syak wasangka: apakah motif sebenarnya dari filantropi? Kenapa filantropi membantu kegiatan kemanusiaan—atau secara spesifik kesenian dan kebudayaan—dengan menjadi penyumbang dana?


Secara keras tanpa tedeng aling-aling, McGoey menekankan dalam bukunya bahwa filantropi sesungguhnya hanyalah perpanjangan tangan kapitalisme. Bahwa ada jurang disparitas ekonomi yang menganga lebar di dalam sistem ekonomi kapitalis yang dianut dunia sekarang. Maka, filantropi muncul sebagai sebuah kedok untuk menutupi jurang itu, menampakkan bahwa kedermawanan masih ada, hal-hal baik masih ada di tengah dunia modern yang timpang ini.

Filantropi, dalam kacamata Linsey McGoey adalah instrumen untuk membuat semua hal terlihat seolah sedang baik-baik saja.

TaggedAliyuna PratistiEllen WillisIsaac Bashevis SingerLinsey McGoeyShoshana ZubbofSlavoj Zizek


More Stories

Cover Image for Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

Dismantling Hyper-Masculinity in the Indonesian Music Scene

It’s time for us to dismantling hyper-masculinity and sexism, which is toxic in the Indonesian music scene.

Aris Setyawan
Aris Setyawan
Cover Image for The End of Protest Music in Indonesia?

The End of Protest Music in Indonesia?

When Slank release a song called “Polisi yang Baik Hati”, is it the sign that protest music in Indonesia has been ended?

Aris Setyawan
Aris Setyawan